Pelemahan nilai tukar seperti dua
sisi mata uang. Di satu sisi pelemahan nilai tukar mengakibatkan terjadinya
inflasi, hal ini diakibatkan besarnya kebutuhan barang impor yang masih sangat
besar di Indonesia. Pebisnis yang menggunakan bahan baku impor juga semakin
kelimpungan karena mereka menghadapi dilema apakah akan menaikan harga barang
atau tidak.
Selain itu pelemahan nilai tukar
rupiah juga berpotensi melebarkan defisit anggaran. Seperti yang kita tahu
anggaran belanja negara masih sangat bergantung pada hutang, pembayaran bunga
utang tentu akan semakin bertambah jika rupiah semakin melemah. Jangan lupakan
juga korporasi yang berhutang dalam bentuk valuta asing harus memutar otak
karena jumlah hutang mereka akan semakin membesar akibat dinamika kurs yang
terus berubah. Contoh nyatanya kita bisa lihat apa yang dihadapi Perusahaan
Listrik Negara yang harus menanggung beban hutang hingga Rp 30,9 triliun karena
total hutang yang didominasi oleh valuta asing pada 2013.
Dibalik semua efek buruk yang
dapat diakibatkan pada perekonomian, di sisi lain pelemahan nilai tukar dapat
dijadikan sebagai alat untuk memacu ekspor. Negara-negara seperti Tiongkok
maupun Jepang bahkan ditengarai sengaja melemahkan nilai tukarnya untuk
meningkatkan volume perdagangan ekspor kedua negara tersebut. Memang tidak bisa
dipungkiri juga kedua negara tersebut adalah negara dengan kondisi industri
manufaktur yang sudah mapan, maka tidak mengejutkan apabila negara seperti Tiongkok
pada periode 2014-2015 mencatat pertumbuhan ekspor 6,8% seiring melemahnya nilai tukar Yuan hingga 41
basis poin pada periode yang sama.
Pelemahan rupiah di quartal
pertama 2015 ini semestinya menjadi blessing
in disguise bagi eksportir. Namun sayang peluang ini tidak banyak yang bisa
dimanfaatkan oleh sektor industri manufaktur yang memiliki ketergantungan pada
bahan baku impor, terlebih lagi industri manufaktur yang mengandalkan bahan
baku impor namun berorientasi pasar dalam negeri.
Saat ini impor bahan baku dan
penolong industri mencakup 68% dari total impor Indonesia. Dari tahun ke tahun
impor bahan baku dan penolong industri juga cukup tinggi yakni 128% dari tahun
2005 hingga 2014. Maka tidak heran selama 10 tahun terakhir neraca perdagangan
Indonesia tergerus oleh jumlah impor non
migas yang melonjak sebesar 207% dari 39
juta US$ pada tahun 2004 menjadi 120 juta US$ pada tahun 2014.
Kondisi industri manufaktur yang
sangat bergantung pada bahan baku dan penolong impor berkonsekuensi pada
meningkatnya impor bahan baku, apabila terjadi peningkatan pembangunan industri
manufaktur dan investasi di sektor ini. Untuk
mengantisipasi hal ini, selain kebijakan pembangunan industri hilir untuk
komoditas bahan mentah, pemerintah perlu menggalakkan pembangunan sektor hulu
industri manufaktur yang masih lemah.
Belajar Dari Tiongkok
Pemerintah bukan tanpa rencana
untuk mengembangkan industri manufaktur. Beberapa kebijakan dibuat mulai dari
Rencana Pembangunan Jangka Panjang yang dikordinasikan oleh Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, Masterplan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI) melalui PerPres no.32/2011, hingga UU no. 3/2014 tentang perindustrian.
Namun kebijakan industri nasional sejauh ini belum dapat membangun industri
manufaktur yang kokoh untuk menopang ekspor nasional.
Untuk mengembangkan industri
manufaktur berbasis ekspor yang kuat, Indonesia ada baiknya belajar dari Tiongkok,
negara dengan industri manufaktur terbesar di dunia saat ini. Kehebatan
industri manufaktur Tiongkok tidak terlepas dari sejarah panjang pembenahan
industri manufaktur di negara tirai bambu itu. Pada dekade 1980-an ekspor barang-barang
manufaktur di Tiongkok masih di bawah ekspor hasil pertanian. Namun memasuki
era millenium di tahun 2000 ekspor pertanian Tiongkok hanya berkisar 10 persen,
sementara sisanya dikuasai oleh ekspor barang manufaktur.
Selain didukung dengan sumber
daya manusia yang berlimpah dan juga upuh buruh yang relatif murah, pembangunan
industri manufaktur di Tiongkok juga didukung kebijakan dalam memberikan pedidikan
kepada para karyawan, pembangunan infrastruktur, serta mendorong investasi
langsung pada ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sayangnya langkah-langkah yang
berhasil Tiongkok lakukan untuk membangun industri manufakturnya justru masih
menjadi masalah dalam pengembangan industri manufaktur di Indonesia. Kita ambil
contoh infrastruktur, pembangunan yang belum memadai menjadikan kinerja
industri nasional menurun akibat tingginya biaya logistik. Sebagai bahan
perbandingan, Logistik performance Index
(LPI) nasional masih dibawah LPI negara tetangga. Pada tahun 2014 LPI
Indonesia tercatat 3 (dengan nilai maksimal perhitungan LPI 5) sedangkan
Malaysia dan Thailand mempunyai nilai LPI 3,5 dan 3,4.
Contoh lain adalah penelitian dan
pengembangan teknologi. Pemerintah Indonesia hanya menyisihkan 0,81 persen dari
GDP untuk belanja penelitian dan pengembangan pengetahuan, angka ini masih
lebih kecil dari tetangga serumpun Malaysia yang menyisihkan 1,07 persen dari
GDP nya untuk dana penelitian mengutip indikator yang dikeluarkan bank dunia.
Padahal kegiatan penelitian dan pengembangan sangat berpotensi untuk meningkatkan
pengetahuan yang disebutkan bank dunia sebagai salah satu syarat dalam mengembangkan
industri manufaktur nasional. Tiongkok sendiri yang sukses membangun industri
manufakturnya menyisihkan 1,98 persen dari GDP nya untuk dana penelitian.
*Artikel ini pernah dimuat di harian Kontan 9 April 2015