Translate

Selasa, 16 April 2019

Jebakan Negara Pendapatan Menengah


Baru-baru ini Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pendapatan per kapita masyarakat Indonesia. Dalam rilisnya, tercatat pendapatan per kapita masyarakat Indonesia per tahun 2018 mencapai 3.927 USD. Angka ini meningkat dari tahun lalu yang mencapai 3.876 USD. Meski naik, status Indonesia masih dikategorikan low middle income countries dan belum menjadi upper middle income countries seperti yang banyak diberitakan. 

Memang betul pendapatan per kapita Indonesia telah mencapai 3.927 USD, angka ini masuk dalam kategori upper middle income countries yang dirilis oleh Bank Dunia. Namun metodologi penghitungan yang dipakai oleh Bank Dunia menggunakan Pendapatan National Bruto sementara rilis yang digunakan BPS menggunakan pendapatan metode Pendapatan Domestik Bruto sehingga status Indonesia saat ini masih sebagai low middle income countries.

Sebagai informasi, Middle Income Countries (MIC) merupakan klasifikasi negara yang dikeluarkan Bank Dunia yang dikukur dari PNB kapita setiap negara. Di dalam klasifikasi tersebut Bank Dunia membagi MIC menjadi 2 kelas yaitu Low MIC yaitu negara dengan pendapatan per kapita mencapai 996-3.896 USD, dan Upper MIC negara dengan pendapatan per kapita mencapai 3.896-12.055 USD. Kedua kelas inilah yang harus dilalui sebuah negara hingga akhirnya menyandang status sebagai negara pendapatan ekonomi tinggi dengan pendapatan per kapita mencapai diatas 12.056 USD. 

Dalam beberapa kasus, beberapa negara yang telah masuk kategori MIC terjebak dalam kategori ini dalam jangka waktu yang relatif lama  dan kemudian mengalamai stagnasi sehingga tidak berhasil naik ke kategori negara dengan pendapatan per kapita ekonomi tinggi. Kondisi ini yang umum dikenal dengan Jebakan Negara Pendapatan Menengah. 

Lalu dimana posisi Indonesia? saat ini Indonesia masih berstatus sebagai negara middle income countries. Indonesia menyandang status negara MIC sejak tahun 1996. Menurut studi Felipe (2012) sebuah negara memiliki waktu 42 tahun untuk dapat keluar dari kategori middle income country. Hal ini didasarkan pada pengalaman empiris yang bersumber dari Negara-negara yang mengalami dan tidak mengalami middle income trap. Jika merujuk kepada data pengalaman empiris tersebut, maka waktu yang tersisa bagi Indonesia untuk bisa keluar dari middle income trap adalah 19 tahun lagi. 

Terperangkap dalam jebakan negara pendapatan menengah sudah tentu bukan pilihan untuk Indonesia. Jika terperangkap dalam jebakan ini maka Indonesia akan mengalami beberapa konsenkuensi diantaranya menurunnya nilai investasi swasta, rendahnya serapan angkatan kerja dan juga rendahnya nilah tambah industri. 

Pentingnya Industri Manufaktur
Menurut perhitungan CORE agar tidak masuk dalam jebakan negara pendapatan menengah Indonesia memerlukan pertumbuhan ekonomi rata-rata hingga 7% sampai dengan 2038. Hal ini menjadi tantangan karena dalam 5 tahun terakhir rata-rata pertumbuhan ekonomi hanya bisa mencapai 5%. Apabila tren ini terus berlanjut dalam jangka menengah, maka dipastikan Indonesia akan kena jebakan negara pendapatan menengah.

Oleh karena itu pemerintah perlu belajar dari negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan dan Cina. Ketiga negara tersebut mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dengan mendorong industri manufaktur. Pilihan untuk menggenjot manufaktur karena karakteristik industri ini yang dapat menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi, menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang banyak, serta dapat memberika efek spillover pada sektor lainnya. 

Sayangnya  perkembangan industri manufaktur di Indonesia tidak begitu baik. Memang benar beragam upaya telah dilakukan pemerintah seperti mengeluarkan beragam paket kebijakan ekonomi untuk mendongkrak kinerja industri manufaktur di Indonesia dengan menyasar permasalahan industri nasional seperti biaya energi, logistik, regulasi hingga ketenagakerjaan.
Namun paket kebijakan ini belum berdampak banyak pada proses reindustrialisasi di Indonesia. Sebaliknya proses deindustrialisasi yang telah dialami Indonesia selama beberapa dekade masih berlanjut. Bahkan pada tahun 2018 pertumbuhan investasi sektor manufaktur mengalami kontraksi hingga 19%.

Oleh karena itu, untuk mendukung proses reindustrialisasi proses implementasi paket kebijakan diatas perlu dipercepat. Disamping itu harmonisasi kebijakan fiskal dan moneter harus selaras dalam proses reindustrialisasi.

Selama ini, paket kebijakan insentif fiskal belum banyak termanfaatkan untuk sektor industri. Data menunjukkan, selama tahun 2016-2017 pertumbuhan insentif fiskal untuk sektor manufaktur mencapai 2% angka ini jauh lebih rendah dibandingkan sektor jasa seperti keuangan misalnya yang tumbuh hingga 7%. 

Adapun dari sisi moneter, era kebijakan suku bunga rendah telah berakhir dan pengetatan kebijakan moneter telah mendorong kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia hingga 1.75 basis poin selama tahun 2018. Hal ini akan semakin mempersulit turunnya suku bunga kredit untuk sektor manufaktur. Padahal 93% industri di Indonesia berupa industri kecil yang membutuhkan penyalurkan kredit untuk melakukan ekspansi usaha. 

Terakhir yang tidak kalah penting, proses reindustrialisasi harus menjadi tanggung jawab bersama dan tidak semata-mata menjadi tanggung jawab Kementerian Perindustrian. Harus ada, indikator bersama untuk mengukur sejauh mana proses reindustrialisasi telah berjalan.

SDA dan Kerentanan Fiskal


Indonesia dikenal sebagai negara dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. SDA telah berkontribusi positif dalam berbagai nadi perekonomian, salah satu diantaranya penerimaan negara. Jika kita tengok sejarah, tentu masih lekat dalam ingatan masa dimana Indonesia menikmati periode boom komoditas minyak pada dekade 1970-an sampai dengan awal 1980-an. 

Dalam dekade tersebut rata-rata persentase kontribusi komoditas migas (minyak dan gas) terhadap penerimaan negara mencapai 50 hingga 60 persen dari total penerimaan negara. besarnya porsi penerimaan negara dari minyak saat itu dikarenakan besarnya porsi industri pengelolaan minyak dan gas yang pada saat itu menyumbang 19%  dari total output seluruh industri di Indonesia. 

Sayangnya di periode awal 1980-an harga minyak mulai jatuh dan akhirnya mendorong pemerintah untuk  transformasi kebijakan fiskal. Salah satu poin kebijakan yang dikeluarkan dalam proses transformasi ini ialah mendorong penerimaan negara non migas. Kebijakan ini ini berhasil mengubah struktur penerimaan negara dari migas. Secara berangsur porsi penerimaan negara migas berkurang dari dari 66% pada tahun 1984 menjadi 42% di awal tahun 1990.

Memasuki era tahun 2000-an, komoditas kembali berkontribusi terhadap moncernya penerimaan negara. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2008 ekspor komoditas sawit dan hasil tambang meningkat masing-masing 57% dan 22%,  hal ini kemudian berdampak pada pertumbuhan penerimaan negara hingga 39%. Namun ketika tahun 2009 pertumbuhan ekspor minyak sawit dan hasil tambang mengalami kontraksi masing-masing -14% dan -9%, pertumbuhan penerimaan negara juga ikut terkontraksi hingga -14%.

Sepuluh tahun setelah 2008, pola yang sama kerap berulang. Ketika harga dan ekspor komoditas unggulan Indonesia seperti minyak, kelapa sawit dan hasil tambang dalam kondisi baik maka bisa dipastikan penerimaan negara juga ikut membaik. 

Contoh teranyar, pada tahun 2018 harga rata-rata minyak mencapai 69,7 USD/barel, lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata harga minyak pada tahun 2017 yang mencapai 52 USD/barel. Selain itu, harga batubara juga meningkat, sampai dengan November 2018 rata-rata harga batubara acuan mencapai 99 USD/ton lebih tinggi dibandingkan pada periode yang sama di tahun 2017 yang mencapai 85 USD/ton.

Kondisi ini menjadi salah satu faktor meningkatnya penerimaan negara pada tahun 2018. Realisasi penerimaan negara telah mencapai Rp 1.942 triliun melebihi target yang dipatok pemerintah. Jika kita rinci, penerimaan negara dari sumber daya alam mencatatkan kinerja yang sangat positif. Sebagai contoh pajak penghasilan migas, realisasinya mencapai Rp 64,7 triliun, realisasi ini jauh diatas target pemerintah yang mematok angka Rp 38 triliun. Hal yang sama dapat kita lihat pada penerimaan negara non pajak untuk pos SDA yang realisasinya mencapai Rp 181 triliun atau 174% dari target APBN yang mencapai Rp 103 triliun. 

Kesimpulan dari pemaparan diatas ialah penerimaan negara sangat rentan berubah mengikuti harga dan ekspor komoditas. Apabila harga dan ekspor komoditas memburuk potensi berkurangnya penerimaan negara juga semakin membesar. Hal ini sudah tentu akan berpengaruh kepada pengelolaan fiskal secara keseluruhan karena penerimaan negara merupakan salah satu pilar penting dalam perumusan kebijakan fiskal. 

Eksplorasi penerimaan negara non-komoditas
Berangkat dari sini, pemerintah perlu melakukan terobosan untuk meningkatkan penerimaan negara yang tidak bergantung pada komoditas. Pemerintah bisa melakukan perbaikan pada pos penerimaan negara dan melakukan ekslorasi terhadap potensi penerimaan negara yang baru. Beberapa cara yang dapat dilakukan diantaranya;

Pertama, meningkatkan penerimaan negara dari pajak orang pribadi. Potensi penerimaan negara dari pajak orang pribadi masih sangat besar namun saat ini belum banyak dimanfaatkan. Sebuah penelitian dari Asrul Hidayat (2014) menunjukkan rasio pajak penghasilan orang pribadi terhadap PDB di Indonesia masih berkisar 0,94% termasuk paling jika dibandingkan negara tetangga seperti Thailand yang mencapai 8,10%  Vietnam yang mencapai 8,80%. 

Salah satu alasan rendahnya penerimaan pajak orang pribadi karena rendahnya kepatuhan membayar dan melaporkan orang pribadi.  Selama 5 tahun terakhir rata-rata rasio kepatuhan pajak orang pribadi non-karyawan hanya mencapai 38%. Angka ini dibawah rasio kepatuhan pajak pribadi karyawan sebesar 66% dan badan sebesar 55%.

Untuk meningkatkan kepatuhan pajak orang pribadi, Indonesia dapat mencontoh apa yang dilakukan oleh otoritas pajak Inggris. Otoritas pajak Ingris menggunakan pendekatan ilmu perilaku (behaviour science) dalam mendorong orang pribadi untuk membayar pajak. Dalam melakukannya, otoritas pajak inggris mengirimkan surat pengingat bagi wajib pajak yang isinya sepenggal kalimat “sembilan dari sepuluh warga Inggris membayar pajak tepat waktu, saat ini anda adalah bagian kecil masyarakat yang belum membayar pajak kepada kami”. Pendekatan ini berhasil menambah pundi pajak negara hingga 4,9 juta poundsterling dari 120 ribu wajib pajak “nakal”. Pendekatan ini juga diadaptasi oleh pemerintah Guatemala dan berhasil meningkatkan kualitas administrasi perpajakan di negara tersebut (lihat studi Kettle, Hernandez, et all 2016).

Keberhasilan dua negara ini patut menjadi bahan pertimbangan bagi otoritas pajak Indonesia. Otoritas pajak dapat memberikan pesan yang cocok dan menyesuaikan dengan karakteristik wajib pajak yang menunda atau menghindari pajak dan wajib pajak yang taat membayar dan melaporkan pajaknya. Tentu pendekatan behaviour science  akan lebih mudah dilaksanakan jika ditunjang sistem pelaporan pajak yang lebih sederhana,  teknologi yang mumpuni, dan otoritas pajak yang mempunyai independensi dalam menetapkan suatu kebijakan. 

Kedua, potensi penerimaan negara dari jasa sertifikasi halal.  Selama ini penerimaan negara non pajak banyak disumbangkan dari penerimaan dari minyak dan sumber daya alam. Padahal masih banyak potensi penerimaan non pajak diluar komoditas SDA yang dapat digali, salah satunya ialah penerimaan dari jasa sertifikasi halal. Pangsa pasar bisnis halal di Indonesia begitu besar sehingga potensi penerimaan pundi negara dari jasa sertifikasi halal sangat potensial. Nantinya penerimaan jasa sertfikasi halal ini akan masuk ke pos penerimaan negara non pajak. 

Namun untuk sampai kesana Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), institusi yang bertanggung jawab dalam menerbitkan sertifikasi halal, harus mengantongi izin dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP). Sejauh ini PP ini belum diterbitkan lantaran masih menunggu persetujuan dari Presiden.  

Kebijakan fiskal memainkan peran penting dalam menggerakaan perekonomian dan juga keadilan sosial bagi warga Indonesia, untuk memainkan peran tersebut kebijakan fiskal perlu ditopang oleh struktur penerimaan negara yang lebih sehat. Oleh karenanya mendorong penerimaan negara yang tidak bergantung pada komoditas berarti mendorong kebijakan fiskal yang lebih kokoh, tidak rentan dan berkelanjutan untuk kehidupan warga negara yang lebih baik.

Menyoal Insentif Investasi


Dalam penyampaian rancangan undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2019, salah satu poin penting yang disampaikan Presiden Jokowi ialah investasi akan menjadi kunci untuk memompa pertumbuhan ekonomi tahun depan. Untuk itu pemerintah akan menyiapkan beragam insentif investasi,  salah satu bentuk insentif yang disinggu pada pidato kemarin ialah insentif pajak.

Kebijakan insentif pajak untuk investasi bukanlah barang baru bagi Indonesia, tercatat Indonesia pertama kali mengeluarkan kebijakan ini pada tahun 1976 lewat UU no 1 tentang Penanaman Modal Asing. Setelah sempat vakum menyusul dicabutnya UU no 11 tahun 1970 dan juga kebijakan pada tahun 1996. Di era tahun 2000-an kebijakan ini digaungkan kembali melalui UU no 25 tahun 2007. Kebijakan ini terus mengalami perubahah sampai dengan Peraturan Menteri Keuangan no 35 tahun 2018 keluar. 

Meski seringkali mengalami perubahan, kebijakan insentif pajak hasilnya seringkali tidak sesuai dengan harapan. Penelitian Naingolan (2004) menunjukkan pada tahun 1970 an kebijakan tax holiday tidak mampu menarik investasi secara signifikan di Indonesia. Hal ini justru berbanding terbalik ketika pada tahun 1984 program tax holiday dicabut, kinerja investasi justru meningkat. Penelitian Naingolan diperkuat hasil penelitian Dewi (2012) yang menyimpulkan bahwa tidak ada pengaruh signifikan antara insentif tax holiday terhadap keputusan peningkatan investasi di Indonesia.

Selain itu, alih-alih meningkatkan kinerja investasi, insentif tax holiday justru berpotensi menghilangkan penerimaan pajak yang dapat dipungut pemerintah. Sebagai contoh, laporan yang dirilis oleh OECD dan IGF bertajuk The Hidden Cost of Tax Incentives in Mining menyebutkan negara Sierra Leone kehilangan US$ 240 juta dari insentif pajak yang diberikan kepada sektor tambang. Kehilangan potensi penerimaan perpajakan seperti Sierra Leone tentu akan sangat merugikan bagi Indonesia yang sedang berusaha meningkatkan rasio pajaknya dalam lima tahun belakangan.

Disamping insentif pajak belum tentu menarik untuk menarik investasi dan justru berpotensi mengurangi penerimaan negara, kebijakan ini juga berpotensi memicu terjadinya kompetisi pajak dengan negara tetangga. Kompetisi pajak sebenarnya telah terasa antara Indonesia dan Vietnam 4 tahun lalu, ketika itu Vietnam dan Indonesia bersaing untuk mendapatkan investasi berupa pembangunan pabrik dari Samsung.

Indonesia kala itu menawarkan insentif libur pajak hingga 10 tahun untuk Samsung namun harus kalah bersaing dengan Vietnam yang berani memberikan libur pajak lebih lama hingga 30 tahun. Kompetisi pajak juga diperkuat data bahwa sejak 2008 sampai 2017 Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam telah berlomba-lomba menurunkan tarif pajak badannya ke level yang lebih rendah. 

Jika hal ini berlanjut, dikhawatirkan kompetisi pajak justru akan merugikan Indonesia dan juga negara tetangga lainnya. Pemerintah Indonesia perlu belajar dari fenomena kompetisi pajak di Uni Eropa (UE). Pada tahun 1998 negara Irlandia dijuluki Sick man of Europe karena menurunkan tarif pajak secara drastis dari 36% ke 28%, yang kemudian diikuti negara-negara UE lainnya sehingga secara gradual tarif pajak di UE turun secara signifikan. Hal ini kemudian berdampak pada penurunan tarif pajak beberapa negara UE seperti Swedia (6%), United Kingdom (4%) ataupun  Spanyol (2%). Dalam jangka panjang kebijakan ini juga akan mengerus penerimaan pajak suatu negara.

Tidak Hanya Insentif Pajak
Berdasarkan berbagai temuan diatas, pemerintah bijaknya tidak hanya berfokus pada insentif pajak. insentif pajak dapat bekerja jika pemerintah meningkatkan kualitas iklim investasi di Indonesia. Oleh karenanya beberap hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah antara lain; 

Pertama, Meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan. Bentuk peningkatan tata kelola pemerintahan ialah dengan memperkuat kordinasi antar institusi di pemerintahan. Seringkali sulitnya kordinasi antar institusi di pemerintahan berakibat pada mandeknya pelaksanaan kebijakan yang sudah dikeluarkan. Salah satu contoh sulitnya kordinasi ialah ketika paket kebijakan ekonomi ketiga terkait harga gas untuk industri dikeluarkan. Kebijakan ini belum di implementasikan karena membutuhkan kordinasi antara kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Perindustrian, dua kementerian yang berada dibawah naungan Kementerian Kordinator yang berbeda. Tidak hanya di level kementerian, kordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga acapkali mandek di tengah jalan. Permasalahan kordinasi antar lembaga pemerintah tentu dapat menjadi preseden buruk bagi investor.

Kedua, Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia yang terampil. Menurut studi dari Bank Dunia (2015), semakin sulit untuk menemukan pekerja terampil dan profesional di Indonesia. Hal ini disebabkan belum meratanya kualitas pendidikan kurangnya lembaga pelatihan formal sehingga banyak pekerja kesulitan meningkatkan keterampilannya. 

Ketiga, Menjaga stabilitas ekonomi. Salah satu pertimbangan penting investor untuk berinvestasi di suatu negara adalah stabilitas ekonomi. Sayangnya perekonomian indonesia saat ini sangat rentan terhadap guncangan baik dari luar maupun dari dalam negeri. Ekspor yang masih didominasi oleh produk komoditas mentah ditambah biaya bahan baku dan produksi yang relaitf tinggi merupakan beberapa masalah ekonomi yang dapat mengakibatkan instabilitas pada perekonomian Indonesia.

Keempat, Stabilitas politik. Terakhir yang tidak kalah penting ialah mejaga stabilitas politik dan keamanan. Betul, saat ini kondisi politik dan keamanan relatif aman tetapi setelah 2014 perkembangan politik terasa semakin intens dan terpolarisasi ditambah masalah keamanan teroris yang dapat menjadi disinsentif bagi investor untuk berinvetasi.

Kedepan pemerintah akan semakin intensif dalam menggaet investasi. Hal yang patut menjadi catatan, pemberian insentif seperti insenitf pajak untuk menggaet investasi hanya menyentuh masalah hilir dari proses keseluruhan investasi. Sejatinya, pemerintah perlu memperbaiki masalah pada bagian hulu dan tengah investasi, seperti yang disebutkan diatas. Memperbaiki masalah ini dapat menarik masuknya investasi tanpa harus mengorbankan penerimaan pajak di masa depan.