Translate

Minggu, 07 Januari 2018

Dirjen Pajak dan Tantangan Insentif Fiskal

Teka-teki siapa nakhoda baru Direktorat Jenderal Pajak akhirnya terjawab dengan didaulatnya Robert Pakpahan sebagai direktur jenderal (dirjen) pajak yang baru. Sebagaimana proses pemilihan dirjen pajak sebelumnya, kerap menjadi sorotan penting. Hal ini dapat dimaklumi mengingat dirjen pajak dinilai sebagai posisi strategis dalam pengelolaan keuangan suatu negara.

Dirjen pajak akan bertanggung jawab mencapai target penerimaan pajak yang trennya meningkat tiap tahun. Dalam APBN 2018 target penerimaan pajak dipatok sebesar Rp 1.618 triliun, meningkat 10% dibandingkan dengan target pada tahun 2017 yang mencapai Rp 1.472 triliun. Peningkatan ini merupakan konsekuensi dari meningkatnya target penerimaan negara yang dipatok meningkat sebesar 9%.

Di sisi lain, belanja negara meningkat sebesar 4% dari Rp 2.133 trilin tahun ini menjadi Rp 2.220 triliun tahun depan. Kenaikan belanja negara disebabkan peningkatan yang signifikan belanja bantuan sosial dan juga belanja kementerian/lembaga (K/L) yang meningkat masing-masing sebesar 23% dan 6%. Dengan pola belanja ini deficit anggaran ditargetkan sebesar 2,19% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan pembiayaan yang dibutuhkan untuk membiayai defisit anggaran mencapai Rp 325 triliun.

Perlu diingat, kondisi di atas dapat berjalan sesuai rencana jika target pertumbuhan ekonomi 5,4% dapat tercapai. Masalahnya realisasi pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan pemerintah kerap meleset dari target sehingga akan berdampak pada melesetnya pula realisasi penerimaan pajak. Tahun 2016, realisasi pertumbuhan ekonomi yang terpaut 0,18 poin dari target mengakibatkan melesetnya realisasi penerimaan pajak hingga Rp 254 triliun.

Untuk tahun ini dengan pertumbuhan ekonomi kuartal III yang hanya mencapai 5,06%, akan cukup sulit bagi pemerintah untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2%. Sebagai konsekuensinya, realisasi penerimaan pajak 2017 juga akan lebih rendah dari target. Merujuk data penerimaan pajak hingga Oktober 2017, penulis memperikirakan realisasi penerimaan pajak hanya akan mencapai Rp 1.338 triliun atau 91% dari target penerimaan pajak tahun ini. Dari proyeksi penerimaan pajak yang mencapai Rp 1.338 triliun itu dibutuhkan pertumbuhan penerimaan pajak hingga 20% untuk mencapai target penerimaan pajak 2018 yang sebesar Rp 1.609 triliun.

Target ini akan menjadi tantangan berat mengingat tren penurunan pertumbuhan realisasi penerimaan pajak serta rata-rata pertumbuhan penerimaan pajak yang dalam lima tahun terakhir hanya mencapai 8% per tahun. Dengan besarnya potensi shortfall pajak kembali terjadi tahun depan, pemerintah akan dihadapkan pada pilihan menghemat belanja negara, menambah pembiayaan melalui utang, dan kombinasi keduanya. Tentu setiap pilihan mempunyai konsekuensi masing- masing, namun khusus untuk penambahan utang beberapa hal patut menjadi perhatian pemerintah.

Jika melihat profil utang pemerintah saat ini dengan jumlah pokok utang dan bunga utang pemerintah tahun depan akan mencapai Rp 647 triliun, angka ini meningkat dibandingkan dengan nilai pada tahun ini yang mencapai Rp 646 triliun. Belum lagi jatuh tempo utang tahun depan yang mencapai Rp 354 triliun, meningkat signifikan dibandingkan dengan tahun ini yang “hanya” mencapai Rp 87 triliun.

Kepemilikan asing pada Surat Utang Negara (SUN) yang mencapai 38% menyebabkan rentannya risiko SUN terhadap Sudden Capital Outflow yang dipengaruhi oleh perubahan ekonomi global seperti kenaikan suku bunga AS.


Insentif Pajak Untuk Swasta

Untuk menghindari risiko peningkatan beban utang, otoritas pajak diproyeksikan akan lebih agresif dalam mengejar target penerimaan pajak tahun depan. Tahun ini saja beberapa kebijakan pajak baru dikeluarkan untuk mengejar target penerimaan, berupa penerbitan PP Nomor 36 tahun 2017 yang merupakan turunan dari kebijakan pengampunan pajak, rencana pajak e-commerce, dan yang paling baru adalah revisi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/2016.

Beberapa kebijakan ini yang kemudian akan dieksekusi oleh dirjen pajak baru. Berbagai kebijakan ini perlu dilakukan secara hati-hati. Sebagai contoh pajak e-commerce, aturan perpajakan harus jelas baik itu pungutan maupun insentifnya, mengingat e-commerce masih merupakan start-up industry.

Di negara lain seperti India, start-up diberikan insentif pajak berupa keringanan pada pajak pertambahan nilai dan pajak penghasilan. Di samping itu perlu disadari oleh dirjen pajak dan juga pemerintah, penggunaan pajak untuk menopang pertumbuhan ekonomi adalah ibarat pedang bermata dua. Pada satu sisi dia akan membantu pemerintah meningkatkan penerimaan untuk membiayai berbagai program pembangunan, tetapi di lain sisi dia bisa memengaruhi penurunan investasi dan konsumsi swasta yang melakukan penyesuaian terhadap peraturan perpajakan.

Penurunan konsumsi dan investasi swasta tentu akan berpengaruh ke penurunan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, tantangan dirjen pajak nanti tidak sebatas mengamankan penerimaan pajak karena belanja pemerintah yang terus membesar, namun juga memberikan insentif yang paling efektif untuk mendorong kontribusi swasta dalam perekonomian.

Memang, insentif pajak pada satu sisi akan memperlambat pertumbuhan penerimaan pemerintah, namun di lain sisi akan mendorong kontribusi investasi dan konsumsi swasta. Hal ini akan berpengaruh pada turunnya tax ratio, tetapi perlu diingat peningkatan tax ratio bukan sebuah proyek yang dapat dikerjakan dalam setahun. Peningkatan tax ratio seharusnya ditempuh melalui proses panjang reformasi perpajakan.

Sebagai penutup, dirjen pajak tidak bisa bekerja sendiri, kerjasama antarpemangku kepentingan diperlukan agar terciptanya solusi komprehensif untuk menghadapi tantangan fiskal pada tahun depan. Di samping itu, kolaborasi antarinstitusi dan kepemimpinan dirjen pajak yang cakap dapat mendorong instrumen pajak menjadi alat ampuh untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi yang lebih baik di masa mendatang.

Artikel ini ditulis Yusuf Rendy Manilet (Peneliti CORE) dan dimuat di kolom opini harian Investor Daily (07 Desember 2017)

Saatnya Mengakhiri Ketimpangan

Empat tahun lalu ekonom asal Perancis Thomas Piketty mengeluarkan buku berjudul Capital in 21st Century. Buku ini secara gamblang menceritakan bagaimana hubungan antara kesenjangan dan distribusi pendapatan.  Dengan melakukan penelitian selama 15 tahun, Piketty menyimpulkan bahwa ketimpangan yang terjadi pada abad ke-19 diprediksi akan kembali terjadi pada abad ke-21 dan akan menjadi lebih buruk pada masa mendatang.

Penelitian Piketty tidaklah keliru. Data menunjukkan, pada tahun 1975-1979, 1% orang terkaya di dunia mengusai 25% total pendapatan di dunia, sementara sisanya dimiliki oleh 99% golongan bawah. Pada tahun 2009-2012, kekayaan 1% orang kaya naik menjadi 95% pendapatan dunia, sedangkan 5% pendapatan diperebutkan 99% golongan bawah.

Lalu bagaimana dengan ketimpangan di Indonesia. Setidaknya dalam 17 tahun terakhir terjadi peningkatan ketimpangan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari rasio gini yang meningkat dari angka 0,30 pada tahun 2000 meningkat menjadi 0,39 pada tahun 2016.

Sebagai informasi rasio gini menunjukkan tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Dalam skala 0 sampai dengan 1, angka nol berarti kesetaraan penuh, sedangkan angka 1 menunjukkan ketimpangan sempurna.

Memang, rasio gini pada September 2016 mengalami penurunan sebesar 0,39, turun dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 0,40. Namun jika dilihat dari perubahan distribusi penduduk menurut golongan pengeluaran, ternyata penyempitan ketimpangan tersebut lebih banyak didorong oleh penurunan 20% golongan berpengeluaran tertinggi.

Pada September 2015, 20% golongan berpengeluaran tertinggi mencapai 47,85% dari total pengeluaran penduduk, namun pada September 2016 turun 1,29% menjadi 46,56%. Sementara 40% golongan berpengeluaran terendah hanya berkurang 0,34%, dari 17,45% pada September 2015 menjadi 17,11% pada September 2016.

Dengan kata lain, kelompok masyarakat ekonomi lemah sebenarnya belum terlalu banyak berubah kesejahteraannya. Hanya golongan kaya yang lebih banyak menurun pengeluarannya. Selain itu, angka rasio gini Indonesia yang telah mencapai 0,30 juga patut diwaspadai. Pasalnya, menurut IMF (2017), rasio gini pada angka 0,27 akan mulai berdampak negatif pada pembangunan ekonomi.

Pemerintah memang tidak tinggal diam. Melalui kebijakan fiskal, pemerintah berusaha mengurangi angka ketimpangan. Sektor-sektor seperti  infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, yang dipercaya dapat memberikan efek pada turunnya angka ketimpangan, telah dinaikkan anggarannya dalam lima tahun terakhir masing masing sebesar 24%, 10%, dan 24%.

Meskipun demikian, kebijakan ini ternyata hanya memberikan kontribusi yang relatif kecil dalam menurunkan angka ketimpangan. Sebagai ilustrasi, kebijakan fiskal di Indonesia hanya dapat menurunkan rasio gini kurang dari 3 basis poin, sementara negara seperti Brazil dan Afrika Selatan sukses menurunkan rasio gini masing masing sebesar 14 dan 17 basis poin berkat kebijakan fiskal yang tepat sasaran dan efisien.

Oleh karena itu beberapa evaluasi kebijakan dan kebijakan tambahan perlu dilakukan pemerintah untuk mengentaskan ketimpangan ekonomi. Pertama, belanja negara yang tepat sasaran. pemerintah perlu memberikan porsi belanja yang lebih besar pada program-program yang memberikan efek besar pada pengurangan ketimpangan seperti bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Siswa Miskin, dll.

Yang terjadi saat ini anggaran belanja yang mengalir ke program-program di atas lebih kecil dibandingkan yang mengalir ke anggaran subsidi. Padahal menurut studi Bank Dunia (2015), dibandingkan program diatas, subsidi memberikan kontribusi yang lebih kecil terhadap  pengurangan ketimpangan.

Kedua, mengoptimalkan penerimaan negara. Selain dari penerimaan pajak, Pemerintah perlu menggali potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Beberapa sektor PNBP yang potensial digali di Indonesia antara lain:  pertambangan,  pendapatan  hak  dan perizinan serta pendapatan jasa bandar udara, kepelabuhan dan kenavigasian.

Meningkatnya penerimaan negara akan memberikan ruang belanja yang lebih leluasa bagi kebijakan fiskal untuk mengurangi ketimpangan lewat kebijakan prioritas seperti: peningkatan anggaran kesehatan, kelanjutan pendanaan pendidikan, peningkatan cakupan bantuan sosial, serta jaminan sosial untuk semua orang.

Ketiga , inklusi keuangan.  Salah satu cara untuk mereduksi celah pendapatan antara si kaya dan miskin ialah dengan memberikan akses masyarakat miskin terhadap produk dan jasa keuangan khususnya akses pembiayaan. Pemerintah perlu memanfaatkan semakin banyaknya lembaga keuangan yang menawarkan jasa keuangan berbasiskan asas keadilan seperti produk-produk yang ditawarkan bank syariah.

Keempat, linkage pendidikan dan dunia kerja. Untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja, dunia pendidikan perlu mempersiapkan kurikulum pendidikan yang mempersiapkan lulusannya untuk menjadi tenaga kerja yang terampil. Semakin terampil tenaga kerja, semakin tinggi upah yang akan diterima. Hal ini secara otomatis akan mereduksi ketimpangan pendapatan antar masyarakat.

Kelima, meningkatkan kapabilitas Pemerintah Daerah (Pemda). Anggaran transfer ke daerah telah meningkat 45 persen selama  dua tahun terakhir. Peningkatan ini perlu dibarengi dengan peningkatan kapabilitas pemda dalam mengelola anggaran untuk dialokasikan ke program-program penanggulangan kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan di daerah.

Faktanya, menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan, pada tahun 2016 terdapat permasalahan ketidakpatuhan pemerintah daerah terhadap peraturan perundangan-perundangan. Ketidakpatuhan ini berakibat pada kerugian daerah sebesar Rp 1,17 triliun. Hal ini bisa terjadi karena pejabat yang bertanggung jawab lalai dan tidak cermat dalam mentaati dan memahami ketentuan yang berlaku, serta belum optimalnya dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab

Ketimpangan merupakan keniscayaan dari siklus perekonomian modern yang semakin bertumpu pada pemilik modal.  Namun  dengan terobosan kebijakan di samping perbaikan kebijakan yang ada membuat ketimpangan bukan momok yang tidak dapat dihindari. Dengan mengentaskan ketimpangan, pemerintah semakin dekat mewujudkan cita-cita bangsa dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.







 Artikel ini ditulis oleh Yusuf Rendy Manilet dan dimuat diharian Investor Daily (17 Juli 2017)

Menyikapi Peringkat Utang


Beberapa waktu lalu, lembaga pemeringkat Japan Credit Rating Agency Ltd (JCR) memperbarui outlook sovereign credit rating Indonesia dari stabil menjadi positif. Ini sekaligus mengafirmasi rating pada BBB- (investment grade). Sebelumnya, JCR mempertahankan peringkat utang Indonesia pada BBB- dengan outlook stabil pada Februari lalu.

Perbaikan peringkat utang ini merupakan yang kedua diterima Indonesia dari lembaga credit rating internasional. Sebelumnya pada Februari, Moody’s Investor Service, lembaga credit rating dari Amerika Serikat, memperbaiki outlook sovereign credit rating Indonesia dari stable menjadi positif, sekaligus mengafirmasi peringkat pada Baa3 (investment grade).

Sebagai informasi, outlook sovereign credit rating adalah peringkat kredit suatu negara atau entitas yang berdaulat. Peringkat sovereign credit memberikan investor wawasan tingkat risiko yang terkait investasi di suatu negara termasuk juga risiko politik. Atas permintaan negara, lembaga pemeringkat kredit akan mengevaluasi lingkungan ekonomi dan politik negara untuk menentukan peringkat kredit.

Memperoleh peringkat kredit yang baik umumnya penting bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia untuk menarik dana dari pasar obligasi internasional. Dengan membaiknya peringkat utang, Indonesia dipandang positif dalam hal kemampuan membayar utang-utang yang telah dan akan diterbitkan, dalam hal ini Surat Utang Negara (SUN). Secara tidak langsung perbaikan peringkat utang juga berarti lembaga credit rating memberikan rekomendasi untuk surat utang yang diterbitkan pemerintah Indonesia.

Di satu sisi, hal ini merupakan angin segar bagi Indonesia yang berencana menerbitkan SUN tahun ini. Seperti yang kita tahu SUN merupakan salah satu instrumen untuk membiayai defisit APBN. Pada APBN 2017 defisit ditargetkan Rp 330 triliun atau 2,4% dari PDB. Pemerintah berencana menerbitkan SUN senilai Rp 597 triliun untuk menutup defisit dan membayar jatuh tempo bunga utang.

Namun di sisi lain, penerbitan SUN berpotensi menambah beban utang tidak produktif disebabkan belum efisiennya pengelolaan anggaran. Salah satu indikator untuk melihat infisiensi penggunaan anggaran adalah dengan melihat sisa lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran (SiLPA). Menurut data Kementerian Keuangan(Kemenkeu) SiLPA pada tahun 2016 mencapai Rp 86 triliun.

SiLPA menggambarkan anggaran yang tidak digunakan dalam APBN tahun sebelumnya. Sisa anggaran menjadi isu penting mengingat pembiayaan anggaran saat ini banyak dilakukan dengan menerbitkan surat utang, penerbitan surat utang mempunyai konsekuensi bertambahnya bunga utang.

Bunga utang yang ditanggung pemerintah saat ini saja sudah sedemikian besar. Pada APBN 2017 bunga utang yang ditanggung pemerintah mencapai Rp 221 triliun, angka ini meningkat 21% dari pembayaran bunga utang pada APBN-P 2016 yang mencapai Rp 182 triliun. Selama lima tahun terakhir rata-rata peningkatan pembayaran bunga utang mencapai 17%.


Efisiensi Anggaran Belanja

Bertolak dari masalah ini, keliru jika pemerintah hanya melihat perbaikan peringkat utang sebagai pengakuan stabilnya perekonomian Indonesia atau menariknya iklim investasi untuk SUN. Perbaikan peringkat utang perlu juga disikapi dengan meningkatkan kualitas pengelolaan anggaran khususnya belanja anggaran.

Pemerintah perlu mencermati celah fiskal yang dapat muncul dari berlebihnya proyeksi anggaran belanja. Belanja Kementerian dan Lembaga (K/L), misalnya, dari tahun ke tahun rata-rata celah fiskal mencapai empat hingga enam persen. Realisasi belanja rata-rata K/L hanya 95%. Bahkan menurut perhitungan Kemenkeu, setiap K/L melakukan inefisiensi sekitar Rp 50 triliun dalam anggarannya pada APBN Perubahan 2016.

Untuk mengantisipasi hal yang sama terulang kembali K/L perlu melakukan double checking ketika akan mengajukan anggaran ke Kemenkeu. Double checking ini bertujuan untuk menganalisis apakah anggaran dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan tidak kalah penting anggaran yang diajukan dapat dieksekusi oleh K/L terkait.

Selain itu, K/L juga perlu lebih konsisten menerapkan beberapa langkah sesuai petunjuk Kemenkeu. Di antaranya merealisasikan anggaran sesuai dengan proyeksi dalam APBN 2017, lebih tertib dan tepat waktu dalam menggunakan alokasi anggaran, dan menghasilkan penggunaan anggaran yang taat dan sesuai dengan aturan yang berlaku.

Adapun untuk belanja transfer daerah dan desa, beberapa peraturan telah dibuat agar realisasi transfer daerah dan dana desa lebih optimal, semisal Kepres No 20/2015, punishment bagi daerah yang tidak menyalurkan APBD, dan yang terbaru melakukan perubahan skema alokasi anggaran DAU. Namun semua peraturan ini tidak akan efektif jika aparat pemerintah di daerah tidak cakap dalam mengelola keuangan daerah.

Faktanya, menurut laporan dari Badan Pemeriksa Keuangan pada 2016 terdapat permasalahan ketidakpatuhan pemerintah daerah terhadap peraturan perundangan-perundangan. Ketidakpatuhan ini berakibat pada kerugian daerah sebesar Rp 1,17 triliun dan potensi kerugian daerah sebesar Rp 538 miliar. Hal ini bisa terjadi karena pejabat yang bertanggung jawab lalai dan tidak cermat dalam menaati dan memahami ketentuan yang berlaku, serta belum optimalnya dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab.


Alhasil, perbaikan peringkat utang perlu disikapi secara bijaksana. Perbaikan peringkat utang tanpa diikuti perbaikan pengelolaan anggaran hanya akan menambah beban utang baru yang tidak diperlukan pemerintah. Kerja sama dibutuhkan untuk memperbaiki pengelolaan anggaran belanja, dari tingkat daerah sampai tingkat pusat, lintas kementerian dan lembaga. Kita tentu tidak mau, perbaikan peringkat utang hanya akan menjadi beban utang tambahan untuk anak cucu kita kelak.








Artikel ini ditulis oleh Yusuf Rendy Manilet dan dimuat di harian Investor Daily (01 April 2017)

Antisipasi Kebijakan Fiskal Negara Maju

Setelah krisis keuangan global 2008 silam perekonomian global nampaknya belum mampu kembali mencapai titik pertumbuhan terbaiknya seperti sebelum krisis. Pertumbuhan ekonomi global  selama lima tahun terakhir hanya mampu tumbuh di kisaran angka 3%. Padahal  sebelumnya perekonomian global dapat mencapai angka pertumbuhan ekonomi  diatas 4%.

Rendahnya pertumbuhan ekonomi global disebabkan oleh melemahnya pertumbuhan negara-negara maju penyokong pertumbuhan global seperti Amerika Serikat (AS), Jerman dan Jepang. Jepang bahkan menjadi salah satu negara dengan perlambatan ekonomi paling signifikan setelah krisis 2008. Setelah krisis pertumbuhan ekonomi negeri matahari terbit  tersebut hanya berkisar di kisaran 1%. Bahkan pada tahun 2011 dan 2014 Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi minus dibawah 1%.

Pemerintah Jepang dan negara maju bukannya tanpa solusi. Pemerintah negara maju dalam lima tahun terakhir mengandalkan kebijakan moneter untuk  menstimulus  pertumbuhan ekonomi. Kebijakan seperti Quantitative Easing (QE) dan suku bunga negatif banyak digunakan untuk mempertahankan permintaan aggregat, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mencegah deflasi.

Secara sederhana pengertian kebijakan QE adalah kebijakan mencetak uang oleh bank sentral yang nantinya digunakan untuk membeli obligasi jangka pendek dan panjang. Sementara kebijakan suku bunga negatif adalah kebijakan memotong suku bunga acuan bank sentral hingga dibawah 0%. Kedua kebijakan ini diharapkan dapat menambah likuiditas perusahaan swasta maupun di masyarakat.

Sayangnya tidak semua kebijakan ini berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi negara maju secara signifikan. Kebijakan suku bunga negatif misalnya tidak berhasil di Jepang. Kebijakan ini gagal karena perbankan tidak menyalurkan likuditas ke sektor riil. Hal ini disebabkan permintaan dari sektor riil yang sedang menurun dan risiko yang lebih besar. Pada akhirnya bank swasta memilih menahan likuiditas dan tetap menyimpan di bank sentral meskipun merugi akibat suku bunga yang negatif.

Sementara untuk kebijakan QE, bank sentral kemungkinan akan menghadapi risiko kehabisan stok obligasi untuk dibeli, seperti yang saat ini dialami European Central Bank (ECB). Kurang efektifnya dua kebijakan moneter dapat dilihat dari rendahnya pertumbuhan ekonomi Jepang dan Uni Eropa yang selama lima tahun terakhir pertumbuhan rata-rata ekonominya hanya mencapai 0,5% (Jepang)  dan 0,4% (Uni Eropa).

Dengan kondisi demikian, pemerintah negara maju mulai beralih menggunakan instrumen kebijakan fiskal. Apalagi kebijakan ini didukung fakta semakin membaiknya indikator fiskal negara maju seperti berkurangnya defisit anggaran pemerintah serta menurunnya jumlah hutang (Nouriel Rubini,2016).

Kebijakan fiskal yang sering digunakan untuk menstimulus perekonomian umumnya adalah instrumen fiskal ekspansif. Salah satu ciri kebijakan fiskal ekspansif ialah anggaran belanja menitikberatkan kepada belanja infrastruktur,militer?,dll. Nantinya kebijakan ini diharapkan menciptakan multiplier effect terhadap pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan ini diprediksi akan diterapkan di kawasan Uni Eropa serta negara Jepang, dan AS. Di Jepang, pemerintah memutuskan untuk menunda kenaikan Pajak Konsumsi tahun depan dan menambah anggaran belanja pemerintah. Sementara di kawasan Uni Eropa, Jerman akan membelanjakan anggaran lebih banyak untuk keperluan pengungsi, pertahanan keamanan, serta Infrastruktur.

Adapun terpilihnya Donald Trump sebagai presiden baru AS akan mendorong pembangunan infrastruktur secara masif di AS. Donald Trump bersiap menyiapkan anggaran hingga USD 530 triliun hingga beberapa tahun kedepan untuk membangun infrastruktur. Disamping itu Trump juga akan menambah anggaran untuk belanja militer.

Kebijakan fiskal yang ekspansif tentu memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Untuk memenuhi pembiayaan anggaran, pemerintah negara maju akan menggenjot penerimaan pajak serta akan gencar menerbitkan obligasi pemerintah untuk menutupi kekurangan anggaran belanja pemerintah. Hal ini didukung rencana kenaikan Fed Fund Rate (FFR) dan tapering quantitative easing oleh ECB yang akan berdampak pada kenaikan yield US bond treasury.

Kenaikan yield US bond treasury diprediksi akan diikuti dengan naiknya yield bond emerging market seperti Indonesia. Imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) diprediksi akan meningkat untuk mengantisipasi tertekannya permintaan obligasi pemerintah Indonesia secara signifikan akibat capital outflow yang kembali ke developed market seperti UE, Jepang, ataupun AS.

Konsolidasi Fiskal


Apalagi saat ini Penerbitan SUN sangat diperlukan untuk mebiayai anggaran belanja pemerintah yang tengah masif membangun infrastruktur ke seluruh Indonesia. Namun meningkatkan imbal hasil SUN bukannya tanpa resiko, kenaikan imbal hasil SUN pada gilirannya akan meningkatkan beban utang pemerintah.

Hal ini yang menjadi masalah mengingat bunga utang pemerintah saat ini sudah sedemikian besar. Dalam kajian CORE Economic Outlook 2017 disebutkan selama tahun 2011-2016 beban hutang pemerintah Indonesia telah meningkat 255% dan kemungkinan besar akan meningkat secara persisten hingga 2019 sejalan dengan kebijakan ekspansif pemerintah untuk membangun infrastruktur. Meningkatnya beban hutang akan berpengaruh terhadap melebarnya angka defisit anggaran.

Melebarnya defisit sendiri tentu beresiko terhadap keberlanjutan pengelolaan fiskal dan turunnya rating investasi oleh lembaga pemeringkat internasional. Untuk mengantispasi agar ini tidak terjadi langkah konsolidasi fiskal perlu dilakukan pemerintah. Program pengampuan pajak yang telah dilaksanakan perlu dilanjutkan dengan reformasi pajak secara fundamental.

Diantara komponen penting dari reformasi pajak ini adalah memberikan kemudahan pelayanan pajak bagi WP dari sisi prosedur pembayaran pajak dan pelaporan, memperbanyak outlet pembayaran pajak, dll. Ini perlu didukung oleh kegiatan sosialisasi bagi WP lama dan program edukasi bagi WP baru. Selain itu  penegakan hukum untuk para penunggak pajak juga perlu diperkuat, mengingat angka kepatuhan pajak di Indonesia selama lima tahun terakhir bergerak di kisaran 40-50%  , baik WP badan maupun pribadi.

Jika reformasi pajak berhasil dilakukan maka pemerintah memperkecil risiko yang muncul dari kebijakan fiskal negara lain seperti peningkatan yield obligasi negara. Selain itu reformasi ini juga akan berpengaruh positif terhadap kesehatan fiskal Indonesia di masa depan. Namun jika melihat kasus korupsi yang menimpa salah satu oknum di institusi perpajakan baru-baru ini reformasi pajak akan menempuh jalan berliku.

Menyoal Masalah Repatriasi

Salah satu faktor penyebab lamanya pembahasan RUU Tax Amnesty beberapa bulan lalu ialah alotnya negosiasi antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai tarif tebusan repatriasi. Singkat cerita pemerintah dan DPR akhirnya sepakat tarif tebusan untuk repatriasi sebesar sebesar 2 persen untuk tiga bulan pertama, 3 persen untuk tiga bulan berikutnya, dan 5 persen di tiga bulan terakhir.

Dengan rendahnya tarif tebusan repatriasi besar harapan pemerintah agar  Warga Negara Indonesia (WNI)  yang selama ini menempatkan aset mereka di luar negeri merepatriasi aset mereka kembali ke Indonesia. Untuk mendukung keberhasilan program ini pemerintah bahkan mempersiapkan menyiapkan instrumen khusus untuk menampung aset dari para peserta tax amnesty yang akan direpatriasi.

Lalu apakah segala bentuk privilege yang ditawarakan dalam tax amnesty mampu menarik perhatian WNI  untuk memulangkan hartanya ke tanah air? Belum tentu. Setidaknya ini bisa  dilihat dari sepinya peminat repatriasi dalam dashboard tax amnesty. Sampai dengan 13 September 2016, nilai repatriasi yang diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak baru mencapai Rp 18,9 triliun atau hanya 1,89% dari target repatriasi amnesti pajak yang mencapai Rp 1.000 triliun hingga 31 Maret 2017.

Maka tidak heran Bank Indonesia buru-buru merevisi estimasi dana repatriasi yang akan masuk ke Indonesia. Estimasi awal yang memperkirakan dana repatriasi akan mencapai Rp 560 triliun direvisi BI  hanya menjadi Rp 180 triliun. Minimnya arus dana repatriasi yang masuk salah satunya disebabkan harta WNI di luar negeri telah menjadi aset tetap. Ditambah banyak dari mereka lebih memilih untuk mendeklarasikan hartanya dibandingkan repatriasi.
 
Lebih megejutkan, ditengah usaha pemerintah untuk  merepatriasi aset WNI ke dalam negeri  jumlah orang Indonesia yang meletakan asetnya diluar negeri justru malah bertambah. Menurut data yang dirilis bloomberg jumlah orang Indonesia yang membeli properti di Singapura meningkat sampai dengan pertengahan Agustus 2016. Angka ini lebih tinggi dibandingkan penjualan properti di tahun lalu.

Kondisi ini tentu sangat disayangkan karena bertolak belakang dengan semangat program tax amnesty. fakta diatas sekaligus menunjukkan sampai saat ini WNI cenderung masih memilih meletakan asetnya diluar negeri dibandingkan didalam negeri. Melihat keadaan ini sulit berharap dalam jangka waktu tujuh bulan kedepan target repatriasi dalam program tax amnesty akan tercapai.

Kegagalan merepatriasi akan menjadi kerugian besar bagi program tax amnesty mengingat potensi penerimaan negara dari repatriasi aset sangatlah besar. Hal ini berdasarkan studi Tax Justice Network  yang menunjukkan Indonesia sebagai salah satu negara yang banyak menaruh dananya di negara tax heaven.


Langkah Strategis

Meskipun demikian usaha untuk merepatriasi aset WNI  yang berada diluar negeri harus tetap dijalankan meski program tax amnesty telah selesai. Dikarenakan banyak manfaat yang bisa didapat dari proses repatriasi ini, khususnya untuk penerimaan pajak. Italia berhasil merepatriasi aset warga negaranya dan mendapatkan tambahan penerimaan pajak sebesar € 4 miliar sementara di Afrika Selatan, otoritas pajak berhasil menemukan US$ 2,09 miliar uang warga negaranya yang disimpan diluar negeri.

Kami menilai agar para WNI tertarik merepatriasi asetnya beberapa langkah startegis perlu diambil pemangku kepentingan di tahun-tahun mendatang. Pertama, menjaga stabilitas makroekonomi. Masih tingginya ketergantungan pada ekspor komoditas dan impor bahan baku menjadi dua hal yang berpotensi mengganggu stabilitas makroekonomi di masa depan. Stabilitas makroekonomi akan mempengaruhi terhadap pandangan WNI yang ingin memulangkan aset untuk diinvestasikan di Indonesia.

Kedua, pendalaman pasar keuangan. Semakin dalam pasar keuangan semakin banyak pilihan investasi yang dapat digunakan untuk menampung modal yang balik kedalam negeri. Saat ini Indonesia berada pada peringkat 58 dalam hal daya saing industri keuangan. Peringkat Indonesia jauh dibawah negara tetangganya Singapura ( peringkat 3) ataupun Malaysia (peringkat 36).

Salah satu instrumen keuangan yang layak dikembangkan adalah pasar obligasi. Saat ini pasar obligasi Indonesia cenderung masih tertinggal dibandingkan negara di regional Asia. Ukuran pasar obligasi pemerintah Indonesia hanya berkisar 14 persen terhadap PDB angka ini lebih rendah dibandingkan Malaysia (54 persen) atau bahkan Filipina (28 Persen), obligasi swasta lebih rendah lagi ukuran pasarnya hanya mencapai 2 persen terhadap PDB jauh, tertinggal dengan tetangga serumpun Malaysia yang telah mencapai 48 persen.

Pengembangan pasar obligasi membutuhkan kordinisasi antara otoritas fiskal dan monter. Saat ini kebijakan fiskal dan moneter belum mendukung satu sama lain. Sebagai contoh, kebijakan moneter yang melonggarkan likuditas di pasar akhirnya harus kembali terserap ke obligasi negara akibat kebijkan fiskal yang memberikan imbal hasil yang tinggi pada obligasi negara. Likuditas yang lebih banyak mengalir ke obligasi negara pada akhirnya menyebakan tidak berkembangnya pasar obligasi swasta akibat sepi peminat.

Ketiga, yang tidak kalah penting ialah menjaga stabiltas politik dan keamanan. Betul saat ini kondisi politik dan keamanan cenderung stabil, namun jangan dilupakan Indonesia  pernah dua kali kecolongan dalam mempertahankan stabilitas politik dan keamanan.

Pertama di tahun 1960 dimana terjadi kekerasan terhadap etnis Tionghoa dan kembali terjadi di tahun 1998, kedua peristiwa itu akhirnya mengharuskan WNI memindahkan asetnya ke Singapura yang dianggap lebih aman dan stabil iklim politiknya. Kondisi ini akhirnya berlanjut sampai sekarang.

Masalah repatriasi aset memang masalah pelik, karena dibutuhkan kerjasama berbagai pemangku kepentingan. Namun jika semua pihak terkait mau bekerja sama dan mengedepankan kepentingan bersama maka tentu manfaat repatriasi untuk  Indonesia akan lebih besar.  Italia dan Afrika Selatan sudah menikmati hal ini, sekarang giliran Indonesia.