Translate

Jumat, 19 Februari 2016

Pelemahan Rupiah dan Industri Nasional*



Setelah sempat menguat hingga level 12.920 rupiah kembali melemah menyentuh level 13.000. Rupiah sendiri secara historis nilainya sudah terdeveluasi sejak Januari tahun 2012. Sebetulnya Rupiah tidak melemah sendirian selama tiga tahun belakangan ini, sejumlah mata uang negara-negara lainnya juga mengalami pelemahan. Namun merosotnya nilai Rupiah kali ini sangat tajam, dengan pelemahan hingga 3000 basis poin, jauh lebih parah dibandingkan Ringgit Malaysia yang hanya melemah 100 basis poin, atau Baht Thailand yang melemah 1000 basis poin. 

Pelemahan nilai tukar seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi pelemahan nilai tukar mengakibatkan terjadinya inflasi, hal ini diakibatkan besarnya kebutuhan barang impor yang masih sangat besar di Indonesia. Pebisnis yang menggunakan bahan baku impor juga semakin kelimpungan karena mereka menghadapi dilema apakah akan menaikan harga barang atau tidak. 

Selain itu pelemahan nilai tukar rupiah juga berpotensi melebarkan defisit anggaran. Seperti yang kita tahu anggaran belanja negara masih sangat bergantung pada hutang, pembayaran bunga utang tentu akan semakin bertambah jika rupiah semakin melemah. Jangan lupakan juga korporasi yang berhutang dalam bentuk valuta asing harus memutar otak karena jumlah hutang mereka akan semakin membesar akibat dinamika kurs yang terus berubah. Contoh nyatanya kita bisa lihat apa yang dihadapi Perusahaan Listrik Negara yang harus menanggung beban hutang hingga Rp 30,9 triliun karena total hutang yang didominasi oleh valuta asing pada 2013.

Dibalik semua efek buruk yang dapat diakibatkan pada perekonomian, di sisi lain pelemahan nilai tukar dapat dijadikan sebagai alat untuk memacu ekspor. Negara-negara seperti Tiongkok maupun Jepang bahkan ditengarai sengaja melemahkan nilai tukarnya untuk meningkatkan volume perdagangan ekspor kedua negara tersebut. Memang tidak bisa dipungkiri juga kedua negara tersebut adalah negara dengan kondisi industri manufaktur yang sudah mapan, maka tidak mengejutkan apabila negara seperti Tiongkok pada periode 2014-2015 mencatat pertumbuhan ekspor 6,8%  seiring melemahnya nilai tukar Yuan hingga 41 basis poin pada periode yang sama.

Pelemahan rupiah di quartal pertama 2015 ini semestinya menjadi blessing in disguise bagi eksportir. Namun sayang peluang ini tidak banyak yang bisa dimanfaatkan oleh sektor industri manufaktur yang memiliki ketergantungan pada bahan baku impor, terlebih lagi industri manufaktur yang mengandalkan bahan baku impor namun berorientasi pasar dalam negeri.

Saat ini impor bahan baku dan penolong industri mencakup 68% dari total impor Indonesia. Dari tahun ke tahun impor bahan baku dan penolong industri juga cukup tinggi yakni 128% dari tahun 2005 hingga 2014. Maka tidak heran selama 10 tahun terakhir neraca perdagangan Indonesia tergerus oleh jumlah  impor non migas yang  melonjak sebesar 207% dari 39 juta US$ pada tahun 2004 menjadi 120 juta US$  pada tahun 2014.

Kondisi industri manufaktur yang sangat bergantung pada bahan baku dan penolong impor berkonsekuensi pada meningkatnya impor bahan baku, apabila terjadi peningkatan pembangunan industri manufaktur dan investasi di sektor ini.  Untuk mengantisipasi hal ini, selain kebijakan pembangunan industri hilir untuk komoditas bahan mentah, pemerintah perlu menggalakkan pembangunan sektor hulu industri manufaktur yang masih lemah.

Belajar Dari Tiongkok
Pemerintah bukan tanpa rencana untuk mengembangkan industri manufaktur. Beberapa kebijakan dibuat mulai dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang yang dikordinasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Masterplan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) melalui PerPres no.32/2011, hingga UU no. 3/2014 tentang perindustrian. Namun kebijakan industri nasional sejauh ini belum dapat membangun industri manufaktur yang kokoh untuk menopang ekspor nasional.

Untuk mengembangkan industri manufaktur berbasis ekspor yang kuat, Indonesia ada baiknya belajar dari Tiongkok, negara dengan industri manufaktur terbesar di dunia saat ini. Kehebatan industri manufaktur Tiongkok tidak terlepas dari sejarah panjang pembenahan industri manufaktur di negara tirai bambu itu. Pada dekade 1980-an ekspor barang-barang manufaktur di Tiongkok masih di bawah ekspor hasil pertanian. Namun memasuki era millenium di tahun 2000 ekspor pertanian Tiongkok hanya berkisar 10 persen, sementara sisanya dikuasai oleh ekspor barang manufaktur. 

Selain didukung dengan sumber daya manusia yang berlimpah dan juga upuh buruh yang relatif murah, pembangunan industri manufaktur di Tiongkok juga didukung kebijakan dalam memberikan pedidikan kepada para karyawan, pembangunan infrastruktur, serta mendorong investasi langsung pada ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Sayangnya langkah-langkah yang berhasil Tiongkok lakukan untuk membangun industri manufakturnya justru masih menjadi masalah dalam pengembangan industri manufaktur di Indonesia. Kita ambil contoh infrastruktur, pembangunan yang belum memadai menjadikan kinerja industri nasional menurun akibat tingginya biaya logistik. Sebagai bahan perbandingan, Logistik performance Index (LPI) nasional masih dibawah LPI negara tetangga. Pada tahun 2014 LPI Indonesia tercatat 3 (dengan nilai maksimal perhitungan LPI 5) sedangkan Malaysia dan Thailand mempunyai nilai LPI 3,5 dan 3,4.

Contoh lain adalah penelitian dan pengembangan teknologi. Pemerintah Indonesia hanya menyisihkan 0,81 persen dari GDP untuk belanja penelitian dan pengembangan pengetahuan, angka ini masih lebih kecil dari tetangga serumpun Malaysia yang menyisihkan 1,07 persen dari GDP nya untuk dana penelitian mengutip indikator yang dikeluarkan bank dunia. Padahal kegiatan penelitian dan pengembangan sangat berpotensi untuk meningkatkan pengetahuan yang disebutkan bank dunia sebagai salah satu syarat dalam mengembangkan industri manufaktur nasional. Tiongkok sendiri yang sukses membangun industri manufakturnya menyisihkan 1,98 persen dari GDP nya untuk dana penelitian. 


Mimpi menjadi negara industri tidak akan bisa diraih jika pemerintah tidak menyiapkan langkah-langkah strategis yang kuat, implementif, terintegrasi, dan merangkul semua pihak untuk mendorong pertumbuhan industri nasional. Dengan membenahi industri nasional mulai dari hulu sampai dengan hilir akan menciptakan industri nasional yang tidak bergantung terhadap impor bahan baku pendukung industri. Sehingga di kemudian hari nilai impor bahan baku tidak akan ikut tergerek naik ketika pemerintah memutuskan menggenjot ekspor barang industri memanfaatkan momentum pelemahan nilai tukar rupiah. 


*Artikel ini pernah dimuat di harian Kontan 9 April 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar