Translate

Jumat, 06 Mei 2016

Kelanjutan Pajak E-commerce*



Pemerintah lewat kementerian keuangan akhirnya menetapkan target pajak dalam Anggaran Pemerintah Belanja Negara (APBN) 2016 sebesar 1.360 Triliun rupiah target yang lebih tinggi 22% dari realisasi penerimaan tahun lalu. Sebelumnya sempat diberitakan bahwa otoritas fiskal akan mengubah target pajak menjadi lebih realistis pada tahun ini mengingat Shortfall tahun lalu melompat menjadi sekitar Rp 230 triliun.

Shortfall pajak memang kerap menjadi masalah dalam pengelolaan kebijakan fiskal di Indonesia. Akibatnya selama sepuluh tahun terakhir APBN selalu mengalami defisit yang lebih besar karena pajak tidak mampu membiayai belanja pemerintah. Jika pada tahun 2005 defisit anggaran mencapai Rp 14,4 triliun, tahun ini diperkirakan melonjak menjadi Rp 273 triliun.

Permasalahan shortfall pajak bukannya tanpa solusi penyelesaian, berbagai usaha dilakukan Direktorat Jendral Pajak (DJP) dalam menggenjot penerimaan perpajakan khususnya beberapa tahun terakhir mulai dari upaya ekstensifikas, intensifikasi ditambah dengan melakukan perbaikan dalam hal regulasi, administrasi serta akuntabilitas.

Selain itu pemerintah juga melaksanakan program sensus pajak nasional untuk menjaring wajib pajak potensial yang belum tersentuh selama ini. Dari sensus tersebut pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 2013 tentang pajak UMKM yang sebelumnya tidak ada. Selain sektor UMKM, sektor yang tengah dibidik pemerintah sebagai objek pajak potensial, yaitu bisnis online atau e-commerce

Belakangan ini perkembangan e-commerce di Indonesia menyita perhatian. Dimulai dengan bermunculannya  situs jejaring sosial seperti facebook dan twitter yang kemudian disusul bisnis e-commerce yang mengubah wajah bisnis konvensional seperti Go-Jek, Traveloka, ataupun Bukalapakcom. Berkembangnya e-commerce  tidak terlepas dari beberapa faktor pendukung seperti peningkatan pengguna internet khususnya penduduk usia muda, peningkatan pembeli digital online, serta market size Indonesia yang memang besar. 

Diprediksi potensi perdagangan elektronik di Indonesia dapat mencapai nilai USD 25-30 miliar. Angka ini bisa saja lebih besar mengingat e-commerce merupakan salah satu sektor yang investasinya dibuka 100 persen untuk asing pada paket kebijakan sepuluh yang dirilis pemerintah beberapa waktu lalu.

Potensi dan tren positif yang ditunjukkan bisnis e-commerce di Indonesia tidak serta-merta memuluskan rencana pemerintah untuk menerapkan pajak baru di industri ini. Banyak dari kalangan pengusaha bisnis online sontak berkeberatan ketika wacana penerapan pajak baru e-commerce disampaikan oleh pemerintah. Saat ini pengenaan pajak e-commerce masih mengacu ke surat edaran direktur jendral pajak nomor SE-62/PJ/2013. 

Dalam surat edaran ini, transaksi e-commerce dikelompokkan ke dalam empat kelompok yaitu; online marketplace, online retail, classified ads, dan daily deals. Dalam keempat model transaksi e-commerce ini, ada pembayaran imbalan atau penghasilan karena jual-beli barang/atau jasa yang merupakan objek pajak Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan dikenakan pajak menurut aturan perpajakan yang berlaku.

Meskipun demikian, kajian DJP menunjukkan transaksi e-commerce tidak sesederhana pada empat model yang disebutkan diatas. Proses transaksi e-commerce seringkali terjadi dalam waktu yang singkat, sehingga sulit untuk melacak siapa saja pelaku transaksinya. Selain itu  bentuk barang atau jasa yang diperdagangkan kebanyakan berformat digital (nonfisik) seperti software, video, musik, e-magazine, sehingga cukup menyulitkan dalam penentuan obyek pajak dan mekanisme pemungutannya. Belum lagi kesulitan penerapan pajak e-commerce yang transaksinya kerap kali lintas negara. Seperti yang kita ketahui banyak perusahaan e-commerce yang menjalankan bisnis secara online di suatu negara secara fisik tidak berada di negara tersebut.

Rumitnya permasalahan penerapan pajak pada transaksi e-commerce sebenarnya bisa saja disiasati dengan membentuk unit khusus seperti yang dilakukan negara Jepang. Otoritas pajak Jepang membentuk unit khusus bernama Professional Team for e-Commerce Taxation (PROTECT). Unit ini bertugas melakukan pemeriksaan dan pengumpulan data dari segala transaksi yang berhubungan dengan transaksi e-commerce, hingga melakukan pelatihan terkait e-commerce (Buyung Muniriyanto, 2015).

Namun yang perlu menjadi catatan pembentukan unit PROTECT didukung oleh perundang-undangan yang memungkinkan petugas pajak mengumpulkan data-data dari pihak ketiga seperti lembaga keuangan untuk dianalisa. Hal ini yang kemudian menjadi tantangan di Indonesia apabila ingin membentuk unit khusus seperti di Jepang.

Saat ini keterbukaan data khususnya data perbankan masih mengacu pada Peraturan Bank Indonesia nomor 2/19/PBI 2000 tentang kerahasiaan data perbankan. Sebenarnya Indonesia telah ikut pada aksi Base Erosion Profit Shifting (BEPS), aksi yang mendorong keterbukan data pajak melalui mekanisme pertukaran data pajak (Automatif of exchange information) dan juga pencegahan penyimpangan pajak, namun program ini baru akan berlaku efektif pada tahun 2018.

Oleh karena itu langkah yang perlu dilakukan DJP saat ini adalah meningkatkan kerjasama dan komunikasi antara pihak terkait seperti Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keungan (PPATK) khususnya kerjasama terkait keterbukaan data untuk perpajakan mengingat isu keterbukaan data bukanlah isu baru dan sudah pernah disinggung oleh DJP sebelumnya. Selain itu DJP juga perlu terus mengidentifikasi objek pajak potensial dari transaksi e-commerce dan juga berkomunikasi dengan pelaku bisnis online di tanah air.

Ke depan, penentuan pajak baru e-commerce akan banyak dipengaruhi oleh sejauh mana keberhasilan implementasi aksi BEPS di dunia dan perkembangan industri e-commerce itu sendiri. Jika melihat perkembangan teknologi digital saat ini industri e-commerce masih akan terus melanjutkan tren positifnya setidaknya dalam beberapa tahun kedepan, hal ini tentu akan berdampak pada potensi penerimaan perpajakan yang lebih besar dari industri ini.

*Artikel ini pernah dimuat di harian Bisnis Indonesia Kamis 17 Maret 2015

Tantangan dan Peluang E-commerce*



Perkembangan teknologi dan informasi saat ini hampir menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia. Sektor bisnis merupakan salah satu sektor yang banyak mengalami transformasi dari kemajuan teknologi dan informasi, khususnya internet. Revolusi digital dalam bisnis kemudian memunculkan e-commerce, mekanisme bisnis secara elektronik yang memfokuskan pada transaksi bisnis dengan menggunakan internet sebagai media pertukaran barang ataupun jasa.

Tidak ada yang meragukan bahwa e-commerce merupakan salah satu industri yang perkembangannya sangat cepat. Laporan World Trade Organization (WTO) bertajuk e-commerce In Developing Countries  menunjukkan pesatnya perkembangan e-commerce. Dua puluh lima tahun lalu, hanya kurang dari tiga juta penduduk dunia yang menggunakan internet, sementara aplikasi e-commerce belum ditemukan saat itu. Tidak sampai satu dekade kemudian, pengguna internet telah mencapai 300 juta orang, dan sekitar satu dari empat orang telah melakukan pembelian online dari situs perdagangan elektronik.

Indonesia pun tidak lepas dari pesatnya perkembangan e-commerce. Jika ditelusuri ke belakang,  keberadaan e-commerce di negeri ini bermula pada tahun 1996 melalui situs sanur.com yang merupakan toko buku online pertama di Indonesia, yang kemudian disusul dengan situs astaga.com, mandirionline.com, satunet.com dan beberapa situs lainnya. Sayangnya, krisis moneter pada tahun 1998 kemudian meredam perkembangan bisnis e-commerce di Indonesia.

Belakangan ini perkembangan e-commerce di Indonesia kembali menyita perhatian. Dimulai dengan bermunculannya situs jejaring sosial seperti facebook dan twitter yang kemudian dimanfaatkan oleh penggunanya untuk melakukan transaksi jual beli online. Sebagai contoh, mamahamil.com yang sejak 2009 menawarkan perlengkapan untuk ibu hamil melalui facebook, berhasil mendapatkan klien yang cukup besar. Setelah itu, muncul kaskus, situs komunitas online terbesar di Indonesia yang juga menawarkan jasa jual beli online.

Berkembangnya e-commerce dalam beberapa tahun terakhir tidak terlepas dari beberapa faktor pendukung seperti peningkatan pengguna internet, khususnya penduduk usia muda, peningkatan pembeli digital online, serta market size Indonesia yang memang besar. Diprediksi potensi perdagangan elektronik di Indonesia dapat mencapai nilai USD 25-30 miliar.

Perdagangan elektronik di Indonesia yang menunjukkan tren peningkatan bukannya tanpa kendala. Beberapa kendala yang menghambat perkembangannya antara lain ketimpangan akses internet di Pulau Jawa dan di luar Jawa, infrastruktur jaringan internet yang masih belum memadai, masih rendahnya pengunaan internet banking, dan juga faktor keamanan transaksi online. Belum selesai penyelesaian kendala e-commerce di dalam negeri, industri ini juga masih akan dihadapkan pada era persaingan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Dengan mulai berlakunya MEA, industri e-commerce tentu mempunyai tantangan dan juga peluang tersendiri. Salah satu tantangan untuk industri e-commerce adalah pajak e-commerce. Beberapa waktu lalu, muncul wacana untuk menerapkan pajak tambahan untuk e-commerce. Sontak wacana ini banyak ditentang oleh para pebisnis e-commerce. Beberapa di antaranya bahkan mengancam akan memindahkan usahanya ke Singapura. 

Menurut kami penerapan pajak e-commerce perlu dilakukan secara bertahap dan tidak terburu-buru, apalagi jika dilihat banyak dari usaha e-commerce di Indonesia saat ini merupakan usaha yang baru dirintis (start—up) dan berada dalam fase pengembangan. Saat ini pengenaan pajak e-commerce masih mengacu ke surat edaran direktur jendral pajak nomor SE-62/PJ/2013. Namun kedepannya objek pajak untuk industri e-commerce berpotensi untuk bertambah mengingat kompleksitas transaksi bisnis e-commerce. Maka dari itu, penerapan pajak e-commerce perlu terus dikomunikasikan dengan pelaku industri ini agar nantinya pajak yang dikenakan tidak menjadi hambatan industri e-commerce Indonesia untuk bersaing dengan negara ASEAN lainnya.

Tantangan kedua adalah belum adanya roadmap pengembangan e-commerce di Indonesia. Wacana roadmap e-commerce sudah ramai dibicarakan namun penyusunannya belum juga rampung sampai dengan saat ini. Padahal jika berbicara persaingan antar sesama negara ASEAN, Singapura sudah menyusun master plan e-commerce sejak 1998. Master plan ini muncul dari visi Singapura dalam membangun teknologi dan informasi pada tahun 1980. 

Sebelum master plan e-commerce, perkembangan informasi teknologi (IT) di Singapura telah melalui beberapa fase pengembangan IT mulai dari penggunaan di pemerintahan, masyarakat secara keseluruhan, hingga fase yang menjadikan Singapura sebagai salah satu negara IT hub di Asia. Artinya perkembangan e-commerce di Singapura sudah ditopang oleh perkembangan teknologi dan informasi yang begitu mapan. Roadmap pengembangan e-commerce diharapkan tidak hanya mengatur investasi di Industri ini, ataupun keamanan transaksi jual beli online, namun juga dapat mendorong perkembangan teknologi dan informasi di Indonesia.  

Selain tantangan, MEA juga dapat dimanfaatkan untuk mendorong  investasi pembangunan jaringan. Dalam buku Membidik Peluang Masyarakat Ekonomi ASEAN yang diluncurkan oleh CORE Indonesia, dijelaskan bahwa selama ini para pemain over the top (OTT) atau penyedia layanan online seperti mesin pencari, instant messenger, serta jejaring sosial mengeruk keuntungan lewat internet tanpa menanamkan investasi untuk membangun jaringan di Indonesia. Padahal investasi jaringan secara tidak langsung akan mendorong industri e-commerce menjadi lebih maju. Pesatnya perkembangan e-commerce di Indonesia dan adanya liberalisasi ASEAN seharusnya bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan posisi tawar Indonesia untuk melakukan mediasi sharing profit dengan praktisi OTT, seperti Google, Facebook,path, dll. 

Berlakunya MEA membawa konsekuensi pada bebasnya lalu lintas perdagangan barang, jasa, tenaga kerja serta investasi. Hal ini di satu sisi berpotensi membanjirnya produk e-commerce dari negara tetangga ke pasar Indonesia, namun di sisi lain juga dapat mendorong bisnis e-commerce tanah air merambah negara ASEAN lainnya. Oleh karenanya, diperlukan kerjasama yang matang dari para pemangku kepentingan agar tantangan e-commerce tidak menjadi penghalang industri ini bersaing di pentas Masyarakat Ekonomi ASEAN. 

Artikel ini pernah dimuat di harian KONTAN  Senin 15 Februari 2015

Menjaga Asa Pertumbuhan*



Bulan April kemarin Indonesia dipercaya menjadi tuan rumah World Economic Forum, sebuah konferensi ekonomi yang mempunyai nilai prestis tinggi di mata dunia. Sebelumnya pada Februari 2015, Pwc (PriceWaterHouseCoopers) dalam laporan bertajuk The World in 2050: Will the shift in global economic power continue? menempatkan Indonesia sebagai tiga besar ekonomi dunia pada tahun 2050 dengan PDB Purchasing Power Parity mencapai 12 ribu triliun US$. Laporan ini menambah deretan pandangan optimis dari lembaga internasional terkait masa depan perekonomian Indonesia.
Namun bertolak belakang dengan pesan optimis dari Pwc, perekonomian nasional di kuartal pertama 2015 masih terus dibayangi oleh tren ekonomi yang melambat sejak 2011. Dalam laporan yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2015 mencapai 4,71%, turun 0,18% dari pertumbuhan ekonomi triwulan I-2014. Kontraksi pertumbuhan negatif ekonomi pada triwulan 1-2015 dipicu oleh menurunnya kinerja lapangan usaha yang memiliki kontribusi besar pada perekonomian seperti pertambangan, konstruksi, dan industri pengolahan.
Berbicara tentang industri pengolahan, industri ini belum mampu bangkit ke level pertumbuhan terbaiknya. Sebelum krisis menghantam Indonesia pertumbuhan industri pengolahan masih mampu menyentuh angka 10% pada tahun 1992 bahkan mencapai 12% pada tahun 1990. Namun setelah krisis industri pengolahan hanya mampu tumbuh rata-rata di kisaran angka 5% pada periode 2000-2014 .
Hal ini menjadi permasalahan tersendiri mengingat industri pengolahan merupakan salah satu industri yang  mampu menyerap banyak tenaga kerja. Sampai dengan akhir 2014 tercatat 24 juta orang atau 21% dari total tenaga kerja bekerja di sektor ini. Menurut studi dari Bank dunia Industri ini juga merupakan primadona bagi para lulusan sekolah menengah karena menawarkan tingkat upah riil tertinggi dibandingkan dengan sektor lain.
Industri pengolahan merupakan mesin pertumbuhan yang efektif bagi perekonomian karena ukuran industri yang lebih besar dan keterkaitanya di hampir semua sektor perekonomian. Itulah kenapa Pemerintah perlu serius membenahi industri pengolahan dalam rangka menjaga pertumbuhan ekonomi nasional. Masalah industri ini tidak hanya terbatas pada rendahnya pertumbuhan, tetapi juga permasalahan seperti kebijakan pengupahan yang, rendahnya produktivitas tenaga kerja, hingga kurangnya dukungan pemerintah terhadap industri ini khususnya dalam hal investasi untuk penelitian dan teknologi.
Salah satu upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong tumbuhnya industri ini dengan memberikan insentif fiskal berupa tax allowance (keringanan dan pengurangan pajak) bagi para investor. Namun instrumen ini tidak akan cukup efektif dalam menarik investor jika masalah klasik seperti proses perizinan investasi yang rumit, ketersediaan bahan baku, biaya logistik yang mahal, hingga belum stabilnya pasokan sumber daya seperti listrik dan energi gas,  tidak dibenahi oleh pemerintah.


Menjaga asa pertumbuhan
Target pertumbuhan ekonomi tahun ini telah dipatok 5,7%. Jika pemerintah tidak mengantisipasi perlambatan pertumbuhan ekonomi seperti yang terjadi di triwulan I-2015, maka target pertumbuhan ekonomi akhir tahun akan sulit terealisasi. Selain membenahi sektor industri pengolahan, ada beberapa langkah lain yang harus dilakukan pemerintah dalam menjaga pertumbuhan ekonomi ke depan.
Pertama; mempercepat pembangunan infrastruktur yang dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Seperti yang kita ketahui infrastruktur memainkan peran yang penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Pada triwulan pertama kementerian pekerjaan umum dan perumahan rakyat yang mendapatkan mandat untuk merealisasikan proyek infrastruktur nasional belum dapat melaksanakan tugasnya secara optimal karena terhambat aturan perubahan nomenklatur pada kementerian tersebut. Tentunya isu ini harus segera diselesaikan bersamaan dengan isu lain yang dapat mengambat pembangunan infrastruktur seperti pembebasan lahan yang memakan waktu lama dan biaya yang besar hingga skema pembiayaan. Selain itu Proporsi belanja modal pada anggaran belanja daerah juga perlu diperbesar. Indikator keuangan daerah pada April 2015 menunjukkan rata-rata proporsi belanja modal daerah hanya mencapai 24% terhadap belanja secara keseluruhan sisanya berkutat pada belanja rutin seperti belanja pegawai. Padahal belanja modal dapat digunakan untuk membangun infrastruktur untuk mendukung roda perekonomian daerah yang pada akhirnya berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan.
Kedua; mengantisipasi inflasi. Salah satu sumber penyumbang terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah konsumsi rumah tangga dengan proporsi 56% dari PDB Indonesia. Pada triwulan I-2015 konsumsi dapat tumbuh sebesar 5,01%. Meskipun demikian inflasi yang terjadi dua kali pada triwulan I-2015 (Maret dan April 2015) perlu menjadi peringatan untuk pemerintah karena inflasi seringkali menjadi menurunnya daya beli masyarakat dan berakibat pada penurunan konsumsi secara keseluruhan. Untuk mengantisipasi inflasi pemerintah perlu melakukan berbagai cara mulai dari pengawasan pasokan pangan, operasi pasar, sampai subsidi tarif angkutan. 

Ketiga, mengisentifkan diversifikasi negara tujuan dan produk ekspor. Indonesia saat ini turut merasakan perlambatan ekonomi global dengan perlambatan kinerja ekspor hingga 0,5% pada triwulan I-2015. Untuk kembali menggenjot nilai ekspor pemerintah perlu meningkatkan diversifikasi negara tujuan  dan produk ekspor. Negara tujuan yang bisa disasar ialah negara-negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Produk yang di ekspor pun harus terdiversifikasi menjadi produk dengan nilai tambah lebih besar. Produk yang mempunyai potensi ini antara lain otomotif dan ban (olahan dari industri karet). Kedua produk ini sangat potensial karena didukung industri domestik yang sudah lebih baik dan ketersediaan bahan baku.

Mencapai target pertumbuhan ekonomi tahun ini bukanlah pekerjaan mudah karena pemerintah dihadapkan pada perlambatan ekonomi global dan juga tantangan ekonomi dalam negeri. Jika diibaratkan sebagai kapal, perekonomian indonesia layaknya kapal yang tengah terombang-ambing di lautan karena lajunya melambat diterjang ombak. Dalam situasi seperti ini nakhoda atau pemimpin kapal perlu berpikir dengan bijak dan komprehensif untuk mendapatkan cara agar kapal kembali melaju. Perlu kesigapan, kecepatan, dan ketetapan dari nakhoda agar kapal yang dipimpinnya tidak tenggelam disapu ganasnya ombak yang datang.

*Artikel ini pernah dimuat di harian KONTAN 1 Juni 2015

Jumat, 19 Februari 2016

Pelemahan Rupiah dan Industri Nasional*



Setelah sempat menguat hingga level 12.920 rupiah kembali melemah menyentuh level 13.000. Rupiah sendiri secara historis nilainya sudah terdeveluasi sejak Januari tahun 2012. Sebetulnya Rupiah tidak melemah sendirian selama tiga tahun belakangan ini, sejumlah mata uang negara-negara lainnya juga mengalami pelemahan. Namun merosotnya nilai Rupiah kali ini sangat tajam, dengan pelemahan hingga 3000 basis poin, jauh lebih parah dibandingkan Ringgit Malaysia yang hanya melemah 100 basis poin, atau Baht Thailand yang melemah 1000 basis poin. 

Pelemahan nilai tukar seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi pelemahan nilai tukar mengakibatkan terjadinya inflasi, hal ini diakibatkan besarnya kebutuhan barang impor yang masih sangat besar di Indonesia. Pebisnis yang menggunakan bahan baku impor juga semakin kelimpungan karena mereka menghadapi dilema apakah akan menaikan harga barang atau tidak. 

Selain itu pelemahan nilai tukar rupiah juga berpotensi melebarkan defisit anggaran. Seperti yang kita tahu anggaran belanja negara masih sangat bergantung pada hutang, pembayaran bunga utang tentu akan semakin bertambah jika rupiah semakin melemah. Jangan lupakan juga korporasi yang berhutang dalam bentuk valuta asing harus memutar otak karena jumlah hutang mereka akan semakin membesar akibat dinamika kurs yang terus berubah. Contoh nyatanya kita bisa lihat apa yang dihadapi Perusahaan Listrik Negara yang harus menanggung beban hutang hingga Rp 30,9 triliun karena total hutang yang didominasi oleh valuta asing pada 2013.

Dibalik semua efek buruk yang dapat diakibatkan pada perekonomian, di sisi lain pelemahan nilai tukar dapat dijadikan sebagai alat untuk memacu ekspor. Negara-negara seperti Tiongkok maupun Jepang bahkan ditengarai sengaja melemahkan nilai tukarnya untuk meningkatkan volume perdagangan ekspor kedua negara tersebut. Memang tidak bisa dipungkiri juga kedua negara tersebut adalah negara dengan kondisi industri manufaktur yang sudah mapan, maka tidak mengejutkan apabila negara seperti Tiongkok pada periode 2014-2015 mencatat pertumbuhan ekspor 6,8%  seiring melemahnya nilai tukar Yuan hingga 41 basis poin pada periode yang sama.

Pelemahan rupiah di quartal pertama 2015 ini semestinya menjadi blessing in disguise bagi eksportir. Namun sayang peluang ini tidak banyak yang bisa dimanfaatkan oleh sektor industri manufaktur yang memiliki ketergantungan pada bahan baku impor, terlebih lagi industri manufaktur yang mengandalkan bahan baku impor namun berorientasi pasar dalam negeri.

Saat ini impor bahan baku dan penolong industri mencakup 68% dari total impor Indonesia. Dari tahun ke tahun impor bahan baku dan penolong industri juga cukup tinggi yakni 128% dari tahun 2005 hingga 2014. Maka tidak heran selama 10 tahun terakhir neraca perdagangan Indonesia tergerus oleh jumlah  impor non migas yang  melonjak sebesar 207% dari 39 juta US$ pada tahun 2004 menjadi 120 juta US$  pada tahun 2014.

Kondisi industri manufaktur yang sangat bergantung pada bahan baku dan penolong impor berkonsekuensi pada meningkatnya impor bahan baku, apabila terjadi peningkatan pembangunan industri manufaktur dan investasi di sektor ini.  Untuk mengantisipasi hal ini, selain kebijakan pembangunan industri hilir untuk komoditas bahan mentah, pemerintah perlu menggalakkan pembangunan sektor hulu industri manufaktur yang masih lemah.

Belajar Dari Tiongkok
Pemerintah bukan tanpa rencana untuk mengembangkan industri manufaktur. Beberapa kebijakan dibuat mulai dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang yang dikordinasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Masterplan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) melalui PerPres no.32/2011, hingga UU no. 3/2014 tentang perindustrian. Namun kebijakan industri nasional sejauh ini belum dapat membangun industri manufaktur yang kokoh untuk menopang ekspor nasional.

Untuk mengembangkan industri manufaktur berbasis ekspor yang kuat, Indonesia ada baiknya belajar dari Tiongkok, negara dengan industri manufaktur terbesar di dunia saat ini. Kehebatan industri manufaktur Tiongkok tidak terlepas dari sejarah panjang pembenahan industri manufaktur di negara tirai bambu itu. Pada dekade 1980-an ekspor barang-barang manufaktur di Tiongkok masih di bawah ekspor hasil pertanian. Namun memasuki era millenium di tahun 2000 ekspor pertanian Tiongkok hanya berkisar 10 persen, sementara sisanya dikuasai oleh ekspor barang manufaktur. 

Selain didukung dengan sumber daya manusia yang berlimpah dan juga upuh buruh yang relatif murah, pembangunan industri manufaktur di Tiongkok juga didukung kebijakan dalam memberikan pedidikan kepada para karyawan, pembangunan infrastruktur, serta mendorong investasi langsung pada ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Sayangnya langkah-langkah yang berhasil Tiongkok lakukan untuk membangun industri manufakturnya justru masih menjadi masalah dalam pengembangan industri manufaktur di Indonesia. Kita ambil contoh infrastruktur, pembangunan yang belum memadai menjadikan kinerja industri nasional menurun akibat tingginya biaya logistik. Sebagai bahan perbandingan, Logistik performance Index (LPI) nasional masih dibawah LPI negara tetangga. Pada tahun 2014 LPI Indonesia tercatat 3 (dengan nilai maksimal perhitungan LPI 5) sedangkan Malaysia dan Thailand mempunyai nilai LPI 3,5 dan 3,4.

Contoh lain adalah penelitian dan pengembangan teknologi. Pemerintah Indonesia hanya menyisihkan 0,81 persen dari GDP untuk belanja penelitian dan pengembangan pengetahuan, angka ini masih lebih kecil dari tetangga serumpun Malaysia yang menyisihkan 1,07 persen dari GDP nya untuk dana penelitian mengutip indikator yang dikeluarkan bank dunia. Padahal kegiatan penelitian dan pengembangan sangat berpotensi untuk meningkatkan pengetahuan yang disebutkan bank dunia sebagai salah satu syarat dalam mengembangkan industri manufaktur nasional. Tiongkok sendiri yang sukses membangun industri manufakturnya menyisihkan 1,98 persen dari GDP nya untuk dana penelitian. 


Mimpi menjadi negara industri tidak akan bisa diraih jika pemerintah tidak menyiapkan langkah-langkah strategis yang kuat, implementif, terintegrasi, dan merangkul semua pihak untuk mendorong pertumbuhan industri nasional. Dengan membenahi industri nasional mulai dari hulu sampai dengan hilir akan menciptakan industri nasional yang tidak bergantung terhadap impor bahan baku pendukung industri. Sehingga di kemudian hari nilai impor bahan baku tidak akan ikut tergerek naik ketika pemerintah memutuskan menggenjot ekspor barang industri memanfaatkan momentum pelemahan nilai tukar rupiah. 


*Artikel ini pernah dimuat di harian Kontan 9 April 2015