Masalah defisit anggaran sudah menjadi masalah klasik dalam pengelolaan
kebijakan fiskal di Indonesia. Selama 10 tahun terakhir Anggaran Pemerintah
Belanja Negara (APBN) selalu mengalami
defisit. Pada tahun 2005 defisit mencapai Rp 14,4 triliun jumlah ini kemudian
melonjak drastis pada APBN 2015 yang defisitnya mencapai Rp 245 triliun. Untuk
2015, defisit APBN ditetapkan 2,2 % dari Produk Domestik Bruto (PDB). Belanja
yang bersifat ekspansif ini dimaksudkan agar APBN dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Meskipun demikian,
berbeda dengan kebijakan defisit siklis (cyclical
deficit) yang hanya dilakukan di saat perekonomian mengalami kontraksi, kebijakan
defisit yang bersifat struktural (structural
deficit) yang menetapkan defisit anggaran dalam jangka waktu tertentu, membuat
stok utang pemerintah semakin menumpuk. Apalagi sejak 2012 keseimbangan primer juga
sudah mengalami defisit. Ini artinya, pendapatan negara sebenarnya tidak mampu
membiayai bunga utang dan cicilannya. Akibatnya, pemerintah dihadapkan pada
keputusan menambah utang untuk membiayai pembangunan, belanja pegawai, maupun
membayar bunga utang.
Selama ini indikator untuk menilai sehat atau tidak sehatnya posisi utang
dalam suatu negara selalu merujuk pada konsensus internasional yang melihat
rasio utang terhadap PDB tidak boleh melebihi angka 60%. Dari indikator ini,
Indonesia boleh dikatakan relatif aman karena tren indikator rasio utang
terhadap PDB selama lima tahun terakhir cenderung menurun. Rasio utang terhadap
PDB yang pada 2009 sebesar 28,3% turun menjadi 25,6% pada 2014. Selain itu rasio
defisit juga masih aman menurut konsesus internasional karena masih berada di
bawah angka 3%.
Dari indikator tersebut, pemerintah memang tampak telah mengelola utang
dengan baik. Akan tetapi, jika dilihat dari indikator lain, pengelolaan utang
nasional tidak sepenuhnya aman. Selama lima tahun ke belakang, nilai nominal utang
Indonesia sebenarnya mengalami peningkatan. Pada tahun 2009 utang pemerintah
mencapai angka Rp 1,5 triliun angka ini kemudian terus bertambah setiap tahun
hingga mencapai Rp 2,6 triliun pada 2014. Bertambahnya nilai utang negara akan
menimbulkan konsekuensi terhadap penambahan bunga utang pada APBN di tahun-tahun
berikutnya. Selama periode yang sama, bunga utang pemerintah terus mengalami
peningkatan setiap tahunnya dari Rp 88,4 triliun pada 2010 hingga mencapai Rp
135 triliun pada 2014. Dalam APBN 2015, bunga utang pemerintah malah mencapai
Rp 152 triliun.
Dalam teori ekonomi kondisi ini disebut dengan Fisher’s Paradox, yaitu semakin banyak cicilan pokok beserta bunga
utang yang dibayar, semakin bertambah banyak pula utang yang menumpuk. Dengan
bahasa yang lebih sederhana kita seperti mengikuti istilah ‘gali lobang tutup
lobang’, pinjam uang untuk bayar utang.
Kurangi Utang Berkala
Masalah belenggu utang dan defisit anggaran mempunyai keterakitan satu sama
lain. APBN yang defisit akhirnya harus ditutupi dengan berhutang. Selain itu
pembayaran bunga hutang juga menjadi beban tambahan dalam belanja APBN. Untuk
itu APBN harus didesain surplus dan pemerintah harus mengurangi beban utang di
APBN secara berkala. Adapun beberapa cara yang dapat ditempuh adalah.
Pertama, memaksimalkan potensi penerimaan pajak, sudah menjadi rahasia umum
bahwa shortfall pajak menjadi masalah
yang sering muncul dalam anggaran penerimaan negara. Selama tiga tahun terakhir
misalnya shortfall pajak mencapai Rp
112 triliun. Di antara beberapa penyebabnya adalah
target penerimaan pajak, yang sangat berkaitan dengan asumsi makro, ditetapkan
terlalu optimis. Akibatnya, realisasi penerimaan pajak selalu lebih rendah dari
target karena pertumbuhan ekonomi pada kenyataannya memang lebih rendah dari
yang diasumsikan. Proyeksi asumsi makro yang ditetapkan oleh pemerintah dan DPR
biasanya banyak didasarkan pada keputusan politik, dan tidak bekerja sama
dengan lembaga independen yang melakukan pengkajian terhadap masalah fiskal dan
ekonomi. Pemerintah perlu belajar dari negara Inggris, Kanada, dan Korea
Selatan dimana ahli/lembaga independen mempunyai peran strategis, untuk
memberikan saran proyeksi ekonomi terhadap dampak kebijakan fiskal. Maka untuk
menyelesaikan Masalah shortfall pajak
perlu kerjasama antara Direktorat Jenderal Pajak, Dewan Perwakilan Rakyat,
lembaga independen dan masyarakat luas.
Kedua, memaksimalkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), pemerintah perlu
lebih serius menggali potensi PNBP khususnya dari sektor non-migas. Untuk sektor
pertambangan emas misalnya, tarif royalty di Indonesia yang masih 3,75%, masih
relatif kecil dibanding banyak negara, seperti Ghana yang mengenakan tarif
sebesar 5%, atau Rusia yang mencapai 6%. Sementara di Peru tarifnya bervariasi
dari 1 sampai dengan 13%. Jika dapat memaksimalkan tarif royalty yang lebih kompetitif tentunya penerimaan PNBP akan lebih
besar. Selain itu, pengawasan terhadap
perusahaan tambang juga wajib dilakukan agar konsisten membayar tarif royalty yang telah ditentukan oleh pemerintah.
Ketiga, mengawasi instrumen utang. Salah satu instrumen utang pemerintah
adalah Obligasi negara, sebagian besar dari obligasi tersebut menggunakan floating rate yang sangat tergantung
pada kondisi fundamental ekonomi. Salah satunya indikatornya adalah inflasi. Jika
inflasi tinggi, maka imbal hasil (yield)
obligasi cenderung naik karena ekspektasi investor terhadap kenaikan inflasi. Imbal
hasil yang meningkat akan berpengaruh terhadap peningkatan beban anggaran.
Keempat, restrukturisasi utang. Pembayaran utang pemerintah masih akan
berlangsung sampai 20 tahun ke depan setidaknya jika melihat dari list
jatuh tempo utang yang masih akan ada sampai dengan 2055. Pemerintah perlu
merestrukturisasi utang-utangnya, yang dimaksud dengan restrukturisasi utang
yaitu mengatur ulang utang terutama terkait masalah tingkat bunga utang. Agar
utang Indonesia tidak semakin besar di masa depan. Selain itu pemerintah perlu
kembali melakukan debt swap, yaitu pertukaran
utang dengan ekuitas atau dalam mata uang lokal untuk membiayai suatu proyek
atau program. Skema ini cukup menguntungkan karena upaya pengurangan utang
dapat dilaksanakan sekaligus dengan upaya untuk mencapai pembangunan. pada
tahun 2004 debt swap dengan
pemerintah Jerman berhasil mengurangi utang pemerintah sebesar 143 juta Euro.
Dalam debt swap pemerintah perlu
menetapkan program prioritas seperti pengurangan kemiskinan, pemerataan
pendidikan, ataupun isu kesenjangan antar daerah.
Ketergantungan pemerintah untuk membiayai anggaran yang defisit melalui
utang perlu dikurangi mulai dari sekarang agar di masa depan Indonesia tidak
terbelenggu dalam bayangan utang yang tak kunjung usai. Kita semestinya tidak
mewarisi generasi mendatang dengan utang yang justru menjadi beban perekonomian.
*Artikel ini pernah dimuat di harian Kontan 25 Februari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar