Translate

Minggu, 07 Januari 2018

Antisipasi Kebijakan Fiskal Negara Maju

Setelah krisis keuangan global 2008 silam perekonomian global nampaknya belum mampu kembali mencapai titik pertumbuhan terbaiknya seperti sebelum krisis. Pertumbuhan ekonomi global  selama lima tahun terakhir hanya mampu tumbuh di kisaran angka 3%. Padahal  sebelumnya perekonomian global dapat mencapai angka pertumbuhan ekonomi  diatas 4%.

Rendahnya pertumbuhan ekonomi global disebabkan oleh melemahnya pertumbuhan negara-negara maju penyokong pertumbuhan global seperti Amerika Serikat (AS), Jerman dan Jepang. Jepang bahkan menjadi salah satu negara dengan perlambatan ekonomi paling signifikan setelah krisis 2008. Setelah krisis pertumbuhan ekonomi negeri matahari terbit  tersebut hanya berkisar di kisaran 1%. Bahkan pada tahun 2011 dan 2014 Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi minus dibawah 1%.

Pemerintah Jepang dan negara maju bukannya tanpa solusi. Pemerintah negara maju dalam lima tahun terakhir mengandalkan kebijakan moneter untuk  menstimulus  pertumbuhan ekonomi. Kebijakan seperti Quantitative Easing (QE) dan suku bunga negatif banyak digunakan untuk mempertahankan permintaan aggregat, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mencegah deflasi.

Secara sederhana pengertian kebijakan QE adalah kebijakan mencetak uang oleh bank sentral yang nantinya digunakan untuk membeli obligasi jangka pendek dan panjang. Sementara kebijakan suku bunga negatif adalah kebijakan memotong suku bunga acuan bank sentral hingga dibawah 0%. Kedua kebijakan ini diharapkan dapat menambah likuiditas perusahaan swasta maupun di masyarakat.

Sayangnya tidak semua kebijakan ini berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi negara maju secara signifikan. Kebijakan suku bunga negatif misalnya tidak berhasil di Jepang. Kebijakan ini gagal karena perbankan tidak menyalurkan likuditas ke sektor riil. Hal ini disebabkan permintaan dari sektor riil yang sedang menurun dan risiko yang lebih besar. Pada akhirnya bank swasta memilih menahan likuiditas dan tetap menyimpan di bank sentral meskipun merugi akibat suku bunga yang negatif.

Sementara untuk kebijakan QE, bank sentral kemungkinan akan menghadapi risiko kehabisan stok obligasi untuk dibeli, seperti yang saat ini dialami European Central Bank (ECB). Kurang efektifnya dua kebijakan moneter dapat dilihat dari rendahnya pertumbuhan ekonomi Jepang dan Uni Eropa yang selama lima tahun terakhir pertumbuhan rata-rata ekonominya hanya mencapai 0,5% (Jepang)  dan 0,4% (Uni Eropa).

Dengan kondisi demikian, pemerintah negara maju mulai beralih menggunakan instrumen kebijakan fiskal. Apalagi kebijakan ini didukung fakta semakin membaiknya indikator fiskal negara maju seperti berkurangnya defisit anggaran pemerintah serta menurunnya jumlah hutang (Nouriel Rubini,2016).

Kebijakan fiskal yang sering digunakan untuk menstimulus perekonomian umumnya adalah instrumen fiskal ekspansif. Salah satu ciri kebijakan fiskal ekspansif ialah anggaran belanja menitikberatkan kepada belanja infrastruktur,militer?,dll. Nantinya kebijakan ini diharapkan menciptakan multiplier effect terhadap pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan ini diprediksi akan diterapkan di kawasan Uni Eropa serta negara Jepang, dan AS. Di Jepang, pemerintah memutuskan untuk menunda kenaikan Pajak Konsumsi tahun depan dan menambah anggaran belanja pemerintah. Sementara di kawasan Uni Eropa, Jerman akan membelanjakan anggaran lebih banyak untuk keperluan pengungsi, pertahanan keamanan, serta Infrastruktur.

Adapun terpilihnya Donald Trump sebagai presiden baru AS akan mendorong pembangunan infrastruktur secara masif di AS. Donald Trump bersiap menyiapkan anggaran hingga USD 530 triliun hingga beberapa tahun kedepan untuk membangun infrastruktur. Disamping itu Trump juga akan menambah anggaran untuk belanja militer.

Kebijakan fiskal yang ekspansif tentu memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Untuk memenuhi pembiayaan anggaran, pemerintah negara maju akan menggenjot penerimaan pajak serta akan gencar menerbitkan obligasi pemerintah untuk menutupi kekurangan anggaran belanja pemerintah. Hal ini didukung rencana kenaikan Fed Fund Rate (FFR) dan tapering quantitative easing oleh ECB yang akan berdampak pada kenaikan yield US bond treasury.

Kenaikan yield US bond treasury diprediksi akan diikuti dengan naiknya yield bond emerging market seperti Indonesia. Imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) diprediksi akan meningkat untuk mengantisipasi tertekannya permintaan obligasi pemerintah Indonesia secara signifikan akibat capital outflow yang kembali ke developed market seperti UE, Jepang, ataupun AS.

Konsolidasi Fiskal


Apalagi saat ini Penerbitan SUN sangat diperlukan untuk mebiayai anggaran belanja pemerintah yang tengah masif membangun infrastruktur ke seluruh Indonesia. Namun meningkatkan imbal hasil SUN bukannya tanpa resiko, kenaikan imbal hasil SUN pada gilirannya akan meningkatkan beban utang pemerintah.

Hal ini yang menjadi masalah mengingat bunga utang pemerintah saat ini sudah sedemikian besar. Dalam kajian CORE Economic Outlook 2017 disebutkan selama tahun 2011-2016 beban hutang pemerintah Indonesia telah meningkat 255% dan kemungkinan besar akan meningkat secara persisten hingga 2019 sejalan dengan kebijakan ekspansif pemerintah untuk membangun infrastruktur. Meningkatnya beban hutang akan berpengaruh terhadap melebarnya angka defisit anggaran.

Melebarnya defisit sendiri tentu beresiko terhadap keberlanjutan pengelolaan fiskal dan turunnya rating investasi oleh lembaga pemeringkat internasional. Untuk mengantispasi agar ini tidak terjadi langkah konsolidasi fiskal perlu dilakukan pemerintah. Program pengampuan pajak yang telah dilaksanakan perlu dilanjutkan dengan reformasi pajak secara fundamental.

Diantara komponen penting dari reformasi pajak ini adalah memberikan kemudahan pelayanan pajak bagi WP dari sisi prosedur pembayaran pajak dan pelaporan, memperbanyak outlet pembayaran pajak, dll. Ini perlu didukung oleh kegiatan sosialisasi bagi WP lama dan program edukasi bagi WP baru. Selain itu  penegakan hukum untuk para penunggak pajak juga perlu diperkuat, mengingat angka kepatuhan pajak di Indonesia selama lima tahun terakhir bergerak di kisaran 40-50%  , baik WP badan maupun pribadi.

Jika reformasi pajak berhasil dilakukan maka pemerintah memperkecil risiko yang muncul dari kebijakan fiskal negara lain seperti peningkatan yield obligasi negara. Selain itu reformasi ini juga akan berpengaruh positif terhadap kesehatan fiskal Indonesia di masa depan. Namun jika melihat kasus korupsi yang menimpa salah satu oknum di institusi perpajakan baru-baru ini reformasi pajak akan menempuh jalan berliku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar