Translate

Minggu, 07 Januari 2018

Menyoal Masalah Repatriasi

Salah satu faktor penyebab lamanya pembahasan RUU Tax Amnesty beberapa bulan lalu ialah alotnya negosiasi antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai tarif tebusan repatriasi. Singkat cerita pemerintah dan DPR akhirnya sepakat tarif tebusan untuk repatriasi sebesar sebesar 2 persen untuk tiga bulan pertama, 3 persen untuk tiga bulan berikutnya, dan 5 persen di tiga bulan terakhir.

Dengan rendahnya tarif tebusan repatriasi besar harapan pemerintah agar  Warga Negara Indonesia (WNI)  yang selama ini menempatkan aset mereka di luar negeri merepatriasi aset mereka kembali ke Indonesia. Untuk mendukung keberhasilan program ini pemerintah bahkan mempersiapkan menyiapkan instrumen khusus untuk menampung aset dari para peserta tax amnesty yang akan direpatriasi.

Lalu apakah segala bentuk privilege yang ditawarakan dalam tax amnesty mampu menarik perhatian WNI  untuk memulangkan hartanya ke tanah air? Belum tentu. Setidaknya ini bisa  dilihat dari sepinya peminat repatriasi dalam dashboard tax amnesty. Sampai dengan 13 September 2016, nilai repatriasi yang diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak baru mencapai Rp 18,9 triliun atau hanya 1,89% dari target repatriasi amnesti pajak yang mencapai Rp 1.000 triliun hingga 31 Maret 2017.

Maka tidak heran Bank Indonesia buru-buru merevisi estimasi dana repatriasi yang akan masuk ke Indonesia. Estimasi awal yang memperkirakan dana repatriasi akan mencapai Rp 560 triliun direvisi BI  hanya menjadi Rp 180 triliun. Minimnya arus dana repatriasi yang masuk salah satunya disebabkan harta WNI di luar negeri telah menjadi aset tetap. Ditambah banyak dari mereka lebih memilih untuk mendeklarasikan hartanya dibandingkan repatriasi.
 
Lebih megejutkan, ditengah usaha pemerintah untuk  merepatriasi aset WNI ke dalam negeri  jumlah orang Indonesia yang meletakan asetnya diluar negeri justru malah bertambah. Menurut data yang dirilis bloomberg jumlah orang Indonesia yang membeli properti di Singapura meningkat sampai dengan pertengahan Agustus 2016. Angka ini lebih tinggi dibandingkan penjualan properti di tahun lalu.

Kondisi ini tentu sangat disayangkan karena bertolak belakang dengan semangat program tax amnesty. fakta diatas sekaligus menunjukkan sampai saat ini WNI cenderung masih memilih meletakan asetnya diluar negeri dibandingkan didalam negeri. Melihat keadaan ini sulit berharap dalam jangka waktu tujuh bulan kedepan target repatriasi dalam program tax amnesty akan tercapai.

Kegagalan merepatriasi akan menjadi kerugian besar bagi program tax amnesty mengingat potensi penerimaan negara dari repatriasi aset sangatlah besar. Hal ini berdasarkan studi Tax Justice Network  yang menunjukkan Indonesia sebagai salah satu negara yang banyak menaruh dananya di negara tax heaven.


Langkah Strategis

Meskipun demikian usaha untuk merepatriasi aset WNI  yang berada diluar negeri harus tetap dijalankan meski program tax amnesty telah selesai. Dikarenakan banyak manfaat yang bisa didapat dari proses repatriasi ini, khususnya untuk penerimaan pajak. Italia berhasil merepatriasi aset warga negaranya dan mendapatkan tambahan penerimaan pajak sebesar € 4 miliar sementara di Afrika Selatan, otoritas pajak berhasil menemukan US$ 2,09 miliar uang warga negaranya yang disimpan diluar negeri.

Kami menilai agar para WNI tertarik merepatriasi asetnya beberapa langkah startegis perlu diambil pemangku kepentingan di tahun-tahun mendatang. Pertama, menjaga stabilitas makroekonomi. Masih tingginya ketergantungan pada ekspor komoditas dan impor bahan baku menjadi dua hal yang berpotensi mengganggu stabilitas makroekonomi di masa depan. Stabilitas makroekonomi akan mempengaruhi terhadap pandangan WNI yang ingin memulangkan aset untuk diinvestasikan di Indonesia.

Kedua, pendalaman pasar keuangan. Semakin dalam pasar keuangan semakin banyak pilihan investasi yang dapat digunakan untuk menampung modal yang balik kedalam negeri. Saat ini Indonesia berada pada peringkat 58 dalam hal daya saing industri keuangan. Peringkat Indonesia jauh dibawah negara tetangganya Singapura ( peringkat 3) ataupun Malaysia (peringkat 36).

Salah satu instrumen keuangan yang layak dikembangkan adalah pasar obligasi. Saat ini pasar obligasi Indonesia cenderung masih tertinggal dibandingkan negara di regional Asia. Ukuran pasar obligasi pemerintah Indonesia hanya berkisar 14 persen terhadap PDB angka ini lebih rendah dibandingkan Malaysia (54 persen) atau bahkan Filipina (28 Persen), obligasi swasta lebih rendah lagi ukuran pasarnya hanya mencapai 2 persen terhadap PDB jauh, tertinggal dengan tetangga serumpun Malaysia yang telah mencapai 48 persen.

Pengembangan pasar obligasi membutuhkan kordinisasi antara otoritas fiskal dan monter. Saat ini kebijakan fiskal dan moneter belum mendukung satu sama lain. Sebagai contoh, kebijakan moneter yang melonggarkan likuditas di pasar akhirnya harus kembali terserap ke obligasi negara akibat kebijkan fiskal yang memberikan imbal hasil yang tinggi pada obligasi negara. Likuditas yang lebih banyak mengalir ke obligasi negara pada akhirnya menyebakan tidak berkembangnya pasar obligasi swasta akibat sepi peminat.

Ketiga, yang tidak kalah penting ialah menjaga stabiltas politik dan keamanan. Betul saat ini kondisi politik dan keamanan cenderung stabil, namun jangan dilupakan Indonesia  pernah dua kali kecolongan dalam mempertahankan stabilitas politik dan keamanan.

Pertama di tahun 1960 dimana terjadi kekerasan terhadap etnis Tionghoa dan kembali terjadi di tahun 1998, kedua peristiwa itu akhirnya mengharuskan WNI memindahkan asetnya ke Singapura yang dianggap lebih aman dan stabil iklim politiknya. Kondisi ini akhirnya berlanjut sampai sekarang.

Masalah repatriasi aset memang masalah pelik, karena dibutuhkan kerjasama berbagai pemangku kepentingan. Namun jika semua pihak terkait mau bekerja sama dan mengedepankan kepentingan bersama maka tentu manfaat repatriasi untuk  Indonesia akan lebih besar.  Italia dan Afrika Selatan sudah menikmati hal ini, sekarang giliran Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar