Empat tahun lalu ekonom asal
Perancis Thomas Piketty mengeluarkan buku berjudul Capital in 21st Century. Buku ini secara gamblang menceritakan
bagaimana hubungan antara kesenjangan dan distribusi pendapatan. Dengan melakukan penelitian selama 15 tahun, Piketty
menyimpulkan bahwa ketimpangan yang terjadi pada abad ke-19 diprediksi akan
kembali terjadi pada abad ke-21 dan akan menjadi lebih buruk pada masa
mendatang.
Penelitian Piketty tidaklah
keliru. Data
menunjukkan, pada tahun
1975-1979, 1% orang terkaya di dunia mengusai 25% total pendapatan di dunia, sementara sisanya dimiliki oleh 99% golongan
bawah. Pada tahun
2009-2012, kekayaan 1%
orang kaya naik menjadi 95% pendapatan dunia, sedangkan 5% pendapatan diperebutkan
99% golongan bawah.
Lalu bagaimana dengan ketimpangan
di Indonesia. Setidaknya dalam 17 tahun terakhir terjadi peningkatan
ketimpangan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari rasio gini yang meningkat dari
angka 0,30 pada tahun 2000 meningkat menjadi 0,39 pada tahun 2016.
Sebagai informasi rasio gini menunjukkan
tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Dalam skala 0 sampai dengan
1, angka nol berarti kesetaraan
penuh, sedangkan angka 1 menunjukkan ketimpangan sempurna.
Memang, rasio gini pada September
2016 mengalami penurunan sebesar 0,39, turun dibandingkan tahun sebelumnya sebesar
0,40. Namun jika dilihat
dari perubahan distribusi penduduk menurut golongan pengeluaran, ternyata
penyempitan ketimpangan tersebut lebih banyak didorong oleh penurunan 20% golongan berpengeluaran
tertinggi.
Pada September 2015, 20% golongan
berpengeluaran tertinggi mencapai 47,85% dari total pengeluaran penduduk, namun
pada September 2016 turun 1,29% menjadi 46,56%. Sementara 40% golongan
berpengeluaran terendah hanya berkurang 0,34%, dari 17,45% pada September 2015
menjadi 17,11% pada September 2016.
Dengan kata lain, kelompok
masyarakat ekonomi lemah sebenarnya belum terlalu banyak berubah
kesejahteraannya. Hanya
golongan kaya yang lebih banyak menurun pengeluarannya. Selain itu, angka rasio
gini Indonesia yang telah mencapai 0,30 juga patut diwaspadai. Pasalnya, menurut IMF (2017), rasio gini
pada angka 0,27 akan mulai berdampak negatif pada pembangunan ekonomi.
Pemerintah memang tidak tinggal diam. Melalui kebijakan
fiskal, pemerintah
berusaha mengurangi angka ketimpangan. Sektor-sektor seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan,
yang dipercaya dapat memberikan efek pada turunnya angka ketimpangan, telah dinaikkan anggarannya dalam
lima tahun terakhir masing masing sebesar 24%, 10%, dan 24%.
Meskipun demikian, kebijakan ini
ternyata hanya memberikan kontribusi yang relatif kecil dalam menurunkan angka
ketimpangan. Sebagai ilustrasi, kebijakan fiskal di Indonesia hanya dapat
menurunkan rasio gini kurang dari 3 basis poin, sementara negara seperti Brazil
dan Afrika Selatan sukses menurunkan rasio gini masing masing sebesar 14 dan 17
basis poin berkat kebijakan fiskal yang tepat sasaran dan efisien.
Oleh karena itu beberapa evaluasi
kebijakan dan kebijakan tambahan perlu dilakukan pemerintah untuk mengentaskan
ketimpangan ekonomi. Pertama, belanja negara yang tepat sasaran. pemerintah
perlu memberikan porsi belanja yang lebih besar pada program-program yang
memberikan efek besar pada pengurangan ketimpangan seperti bantuan sosial
Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Siswa Miskin, dll.
Yang terjadi saat ini anggaran
belanja yang mengalir ke program-program di atas lebih kecil dibandingkan yang mengalir ke anggaran subsidi. Padahal
menurut studi Bank Dunia (2015), dibandingkan program
diatas, subsidi memberikan kontribusi yang lebih kecil terhadap pengurangan ketimpangan.
Kedua, mengoptimalkan penerimaan negara. Selain
dari penerimaan pajak, Pemerintah perlu menggali potensi Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP). Beberapa sektor PNBP yang potensial digali di Indonesia antara
lain: pertambangan, pendapatan hak dan
perizinan serta pendapatan jasa bandar udara, kepelabuhan dan kenavigasian.
Meningkatnya penerimaan negara akan
memberikan ruang belanja yang lebih leluasa bagi kebijakan fiskal untuk
mengurangi ketimpangan lewat kebijakan prioritas seperti: peningkatan anggaran
kesehatan, kelanjutan pendanaan pendidikan, peningkatan cakupan bantuan sosial,
serta jaminan sosial untuk semua orang.
Ketiga , inklusi keuangan. Salah satu cara untuk mereduksi celah
pendapatan antara si kaya dan miskin ialah dengan memberikan akses masyarakat
miskin terhadap produk dan jasa keuangan khususnya akses pembiayaan. Pemerintah
perlu memanfaatkan semakin banyaknya lembaga keuangan yang menawarkan jasa
keuangan berbasiskan asas keadilan seperti produk-produk yang ditawarkan bank
syariah.
Keempat, linkage pendidikan dan dunia kerja. Untuk meningkatkan keterampilan
tenaga kerja, dunia pendidikan perlu mempersiapkan kurikulum pendidikan yang
mempersiapkan lulusannya untuk menjadi tenaga kerja yang terampil. Semakin
terampil tenaga kerja, semakin tinggi upah yang akan diterima. Hal ini secara
otomatis akan mereduksi ketimpangan pendapatan antar masyarakat.
Kelima, meningkatkan kapabilitas Pemerintah Daerah (Pemda). Anggaran transfer ke daerah telah
meningkat 45 persen selama dua tahun
terakhir. Peningkatan ini perlu dibarengi dengan peningkatan kapabilitas pemda dalam
mengelola anggaran untuk dialokasikan ke program-program penanggulangan
kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan di daerah.
Faktanya, menurut laporan Badan
Pemeriksa Keuangan, pada tahun 2016
terdapat permasalahan ketidakpatuhan pemerintah daerah terhadap peraturan perundangan-perundangan.
Ketidakpatuhan ini berakibat pada kerugian daerah sebesar Rp 1,17 triliun. Hal ini bisa terjadi karena
pejabat yang bertanggung jawab lalai dan tidak cermat dalam mentaati dan
memahami ketentuan yang berlaku, serta belum optimalnya dalam melaksanakan
tugas dan tanggung jawab
Ketimpangan merupakan keniscayaan
dari siklus perekonomian modern yang semakin bertumpu pada pemilik modal. Namun dengan terobosan kebijakan di samping
perbaikan kebijakan yang ada membuat ketimpangan bukan momok yang tidak dapat
dihindari. Dengan mengentaskan ketimpangan, pemerintah semakin dekat mewujudkan
cita-cita bangsa dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Artikel ini ditulis oleh Yusuf Rendy Manilet dan dimuat diharian Investor Daily (17 Juli 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar