Indonesia dikenal sebagai negara dengan
Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. SDA telah berkontribusi positif dalam
berbagai nadi perekonomian, salah satu diantaranya penerimaan negara. Jika kita
tengok sejarah, tentu masih lekat dalam ingatan masa dimana Indonesia menikmati
periode boom komoditas minyak pada dekade 1970-an sampai dengan awal 1980-an.
Dalam dekade tersebut rata-rata
persentase kontribusi komoditas migas (minyak dan gas) terhadap penerimaan
negara mencapai 50 hingga 60 persen dari total penerimaan negara. besarnya
porsi penerimaan negara dari minyak saat itu dikarenakan besarnya porsi
industri pengelolaan minyak dan gas yang pada saat itu menyumbang 19% dari total output seluruh industri di
Indonesia.
Sayangnya di periode awal 1980-an harga
minyak mulai jatuh dan akhirnya mendorong pemerintah untuk transformasi kebijakan fiskal. Salah satu
poin kebijakan yang dikeluarkan dalam proses transformasi ini ialah mendorong
penerimaan negara non migas. Kebijakan ini ini berhasil mengubah struktur
penerimaan negara dari migas. Secara berangsur porsi penerimaan negara migas
berkurang dari dari 66% pada tahun 1984 menjadi 42% di awal tahun 1990.
Memasuki era tahun 2000-an, komoditas
kembali berkontribusi terhadap moncernya penerimaan
negara. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2008 ekspor komoditas sawit dan hasil
tambang meningkat masing-masing 57% dan 22%,
hal ini kemudian berdampak pada pertumbuhan penerimaan negara hingga
39%. Namun ketika tahun 2009 pertumbuhan ekspor minyak sawit dan hasil tambang
mengalami kontraksi masing-masing -14% dan -9%, pertumbuhan penerimaan negara
juga ikut terkontraksi hingga -14%.
Sepuluh tahun setelah 2008, pola yang
sama kerap berulang. Ketika harga dan ekspor komoditas unggulan Indonesia
seperti minyak, kelapa sawit dan hasil tambang dalam kondisi baik maka bisa
dipastikan penerimaan negara juga ikut membaik.
Contoh teranyar, pada tahun 2018 harga rata-rata
minyak mencapai 69,7 USD/barel, lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata
harga minyak pada tahun 2017 yang mencapai 52 USD/barel. Selain itu, harga
batubara juga meningkat, sampai dengan November 2018 rata-rata harga batubara
acuan mencapai 99 USD/ton lebih tinggi dibandingkan pada periode yang sama di
tahun 2017 yang mencapai 85 USD/ton.
Kondisi ini menjadi salah satu faktor
meningkatnya penerimaan negara pada tahun 2018. Realisasi penerimaan negara
telah mencapai Rp 1.942 triliun melebihi target yang dipatok pemerintah. Jika
kita rinci, penerimaan negara dari sumber daya alam mencatatkan kinerja yang
sangat positif. Sebagai contoh pajak penghasilan migas, realisasinya mencapai
Rp 64,7 triliun, realisasi ini jauh diatas target pemerintah yang mematok angka
Rp 38 triliun. Hal yang sama dapat kita lihat pada penerimaan negara non pajak
untuk pos SDA yang realisasinya mencapai Rp 181 triliun atau 174% dari target
APBN yang mencapai Rp 103 triliun.
Kesimpulan dari pemaparan diatas ialah
penerimaan negara sangat rentan berubah mengikuti harga dan ekspor komoditas.
Apabila harga dan ekspor komoditas memburuk potensi berkurangnya penerimaan
negara juga semakin membesar. Hal ini sudah tentu akan berpengaruh kepada
pengelolaan fiskal secara keseluruhan karena penerimaan negara merupakan salah
satu pilar penting dalam perumusan kebijakan fiskal.
Eksplorasi penerimaan negara non-komoditas
Berangkat dari sini, pemerintah perlu
melakukan terobosan untuk meningkatkan penerimaan negara yang tidak bergantung
pada komoditas. Pemerintah bisa melakukan perbaikan pada pos penerimaan negara
dan melakukan ekslorasi terhadap potensi penerimaan negara yang baru. Beberapa
cara yang dapat dilakukan diantaranya;
Pertama, meningkatkan penerimaan negara
dari pajak orang pribadi. Potensi penerimaan negara dari pajak orang pribadi
masih sangat besar namun saat ini belum banyak dimanfaatkan. Sebuah penelitian
dari Asrul Hidayat (2014) menunjukkan rasio pajak penghasilan orang pribadi
terhadap PDB di Indonesia masih berkisar 0,94% termasuk paling jika
dibandingkan negara tetangga seperti Thailand yang mencapai 8,10% Vietnam yang mencapai 8,80%.
Salah satu alasan rendahnya penerimaan
pajak orang pribadi karena rendahnya kepatuhan membayar dan melaporkan orang
pribadi. Selama 5 tahun terakhir rata-rata
rasio kepatuhan pajak orang pribadi non-karyawan hanya mencapai 38%. Angka ini
dibawah rasio kepatuhan pajak pribadi karyawan sebesar 66% dan badan sebesar
55%.
Untuk meningkatkan kepatuhan pajak
orang pribadi, Indonesia dapat mencontoh apa yang dilakukan oleh otoritas pajak
Inggris. Otoritas pajak Ingris menggunakan pendekatan ilmu perilaku (behaviour science) dalam mendorong
orang pribadi untuk membayar pajak. Dalam melakukannya, otoritas pajak inggris
mengirimkan surat pengingat bagi wajib pajak yang isinya sepenggal kalimat “sembilan
dari sepuluh warga Inggris membayar pajak tepat waktu, saat ini anda adalah
bagian kecil masyarakat yang belum membayar pajak kepada kami”. Pendekatan ini
berhasil menambah pundi pajak negara hingga 4,9 juta poundsterling dari 120
ribu wajib pajak “nakal”. Pendekatan ini juga diadaptasi oleh pemerintah
Guatemala dan berhasil meningkatkan kualitas administrasi perpajakan di negara
tersebut (lihat studi Kettle, Hernandez, et all 2016).
Keberhasilan dua negara ini patut
menjadi bahan pertimbangan bagi otoritas pajak Indonesia. Otoritas pajak dapat
memberikan pesan yang cocok dan menyesuaikan dengan karakteristik wajib pajak
yang menunda atau menghindari pajak dan wajib pajak yang taat membayar dan
melaporkan pajaknya. Tentu pendekatan behaviour
science akan lebih mudah
dilaksanakan jika ditunjang sistem pelaporan pajak yang lebih sederhana, teknologi yang mumpuni, dan otoritas pajak
yang mempunyai independensi dalam menetapkan suatu kebijakan.
Kedua, potensi penerimaan negara dari
jasa sertifikasi halal. Selama ini
penerimaan negara non pajak banyak disumbangkan dari penerimaan dari minyak dan
sumber daya alam. Padahal masih banyak potensi penerimaan non pajak diluar
komoditas SDA yang dapat digali, salah satunya ialah penerimaan dari jasa
sertifikasi halal. Pangsa pasar bisnis halal di Indonesia begitu besar sehingga
potensi penerimaan pundi negara dari jasa sertifikasi halal sangat potensial.
Nantinya penerimaan jasa sertfikasi halal ini akan masuk ke pos penerimaan
negara non pajak.
Namun untuk sampai kesana Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), institusi yang bertanggung jawab
dalam menerbitkan sertifikasi halal, harus mengantongi izin dalam bentuk
Peraturan Pemerintah (PP). Sejauh ini PP ini belum diterbitkan lantaran masih
menunggu persetujuan dari Presiden.
Kebijakan fiskal memainkan peran
penting dalam menggerakaan perekonomian dan juga keadilan sosial bagi warga
Indonesia, untuk memainkan peran tersebut kebijakan fiskal perlu ditopang oleh
struktur penerimaan negara yang lebih sehat. Oleh karenanya mendorong
penerimaan negara yang tidak bergantung pada komoditas berarti mendorong
kebijakan fiskal yang lebih kokoh, tidak rentan dan berkelanjutan untuk
kehidupan warga negara yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar