Translate

Jumat, 06 Mei 2016

Kelanjutan Pajak E-commerce*



Pemerintah lewat kementerian keuangan akhirnya menetapkan target pajak dalam Anggaran Pemerintah Belanja Negara (APBN) 2016 sebesar 1.360 Triliun rupiah target yang lebih tinggi 22% dari realisasi penerimaan tahun lalu. Sebelumnya sempat diberitakan bahwa otoritas fiskal akan mengubah target pajak menjadi lebih realistis pada tahun ini mengingat Shortfall tahun lalu melompat menjadi sekitar Rp 230 triliun.

Shortfall pajak memang kerap menjadi masalah dalam pengelolaan kebijakan fiskal di Indonesia. Akibatnya selama sepuluh tahun terakhir APBN selalu mengalami defisit yang lebih besar karena pajak tidak mampu membiayai belanja pemerintah. Jika pada tahun 2005 defisit anggaran mencapai Rp 14,4 triliun, tahun ini diperkirakan melonjak menjadi Rp 273 triliun.

Permasalahan shortfall pajak bukannya tanpa solusi penyelesaian, berbagai usaha dilakukan Direktorat Jendral Pajak (DJP) dalam menggenjot penerimaan perpajakan khususnya beberapa tahun terakhir mulai dari upaya ekstensifikas, intensifikasi ditambah dengan melakukan perbaikan dalam hal regulasi, administrasi serta akuntabilitas.

Selain itu pemerintah juga melaksanakan program sensus pajak nasional untuk menjaring wajib pajak potensial yang belum tersentuh selama ini. Dari sensus tersebut pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 2013 tentang pajak UMKM yang sebelumnya tidak ada. Selain sektor UMKM, sektor yang tengah dibidik pemerintah sebagai objek pajak potensial, yaitu bisnis online atau e-commerce

Belakangan ini perkembangan e-commerce di Indonesia menyita perhatian. Dimulai dengan bermunculannya  situs jejaring sosial seperti facebook dan twitter yang kemudian disusul bisnis e-commerce yang mengubah wajah bisnis konvensional seperti Go-Jek, Traveloka, ataupun Bukalapakcom. Berkembangnya e-commerce  tidak terlepas dari beberapa faktor pendukung seperti peningkatan pengguna internet khususnya penduduk usia muda, peningkatan pembeli digital online, serta market size Indonesia yang memang besar. 

Diprediksi potensi perdagangan elektronik di Indonesia dapat mencapai nilai USD 25-30 miliar. Angka ini bisa saja lebih besar mengingat e-commerce merupakan salah satu sektor yang investasinya dibuka 100 persen untuk asing pada paket kebijakan sepuluh yang dirilis pemerintah beberapa waktu lalu.

Potensi dan tren positif yang ditunjukkan bisnis e-commerce di Indonesia tidak serta-merta memuluskan rencana pemerintah untuk menerapkan pajak baru di industri ini. Banyak dari kalangan pengusaha bisnis online sontak berkeberatan ketika wacana penerapan pajak baru e-commerce disampaikan oleh pemerintah. Saat ini pengenaan pajak e-commerce masih mengacu ke surat edaran direktur jendral pajak nomor SE-62/PJ/2013. 

Dalam surat edaran ini, transaksi e-commerce dikelompokkan ke dalam empat kelompok yaitu; online marketplace, online retail, classified ads, dan daily deals. Dalam keempat model transaksi e-commerce ini, ada pembayaran imbalan atau penghasilan karena jual-beli barang/atau jasa yang merupakan objek pajak Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan dikenakan pajak menurut aturan perpajakan yang berlaku.

Meskipun demikian, kajian DJP menunjukkan transaksi e-commerce tidak sesederhana pada empat model yang disebutkan diatas. Proses transaksi e-commerce seringkali terjadi dalam waktu yang singkat, sehingga sulit untuk melacak siapa saja pelaku transaksinya. Selain itu  bentuk barang atau jasa yang diperdagangkan kebanyakan berformat digital (nonfisik) seperti software, video, musik, e-magazine, sehingga cukup menyulitkan dalam penentuan obyek pajak dan mekanisme pemungutannya. Belum lagi kesulitan penerapan pajak e-commerce yang transaksinya kerap kali lintas negara. Seperti yang kita ketahui banyak perusahaan e-commerce yang menjalankan bisnis secara online di suatu negara secara fisik tidak berada di negara tersebut.

Rumitnya permasalahan penerapan pajak pada transaksi e-commerce sebenarnya bisa saja disiasati dengan membentuk unit khusus seperti yang dilakukan negara Jepang. Otoritas pajak Jepang membentuk unit khusus bernama Professional Team for e-Commerce Taxation (PROTECT). Unit ini bertugas melakukan pemeriksaan dan pengumpulan data dari segala transaksi yang berhubungan dengan transaksi e-commerce, hingga melakukan pelatihan terkait e-commerce (Buyung Muniriyanto, 2015).

Namun yang perlu menjadi catatan pembentukan unit PROTECT didukung oleh perundang-undangan yang memungkinkan petugas pajak mengumpulkan data-data dari pihak ketiga seperti lembaga keuangan untuk dianalisa. Hal ini yang kemudian menjadi tantangan di Indonesia apabila ingin membentuk unit khusus seperti di Jepang.

Saat ini keterbukaan data khususnya data perbankan masih mengacu pada Peraturan Bank Indonesia nomor 2/19/PBI 2000 tentang kerahasiaan data perbankan. Sebenarnya Indonesia telah ikut pada aksi Base Erosion Profit Shifting (BEPS), aksi yang mendorong keterbukan data pajak melalui mekanisme pertukaran data pajak (Automatif of exchange information) dan juga pencegahan penyimpangan pajak, namun program ini baru akan berlaku efektif pada tahun 2018.

Oleh karena itu langkah yang perlu dilakukan DJP saat ini adalah meningkatkan kerjasama dan komunikasi antara pihak terkait seperti Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keungan (PPATK) khususnya kerjasama terkait keterbukaan data untuk perpajakan mengingat isu keterbukaan data bukanlah isu baru dan sudah pernah disinggung oleh DJP sebelumnya. Selain itu DJP juga perlu terus mengidentifikasi objek pajak potensial dari transaksi e-commerce dan juga berkomunikasi dengan pelaku bisnis online di tanah air.

Ke depan, penentuan pajak baru e-commerce akan banyak dipengaruhi oleh sejauh mana keberhasilan implementasi aksi BEPS di dunia dan perkembangan industri e-commerce itu sendiri. Jika melihat perkembangan teknologi digital saat ini industri e-commerce masih akan terus melanjutkan tren positifnya setidaknya dalam beberapa tahun kedepan, hal ini tentu akan berdampak pada potensi penerimaan perpajakan yang lebih besar dari industri ini.

*Artikel ini pernah dimuat di harian Bisnis Indonesia Kamis 17 Maret 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar