Bulan April kemarin Indonesia
dipercaya menjadi tuan rumah World
Economic Forum, sebuah konferensi ekonomi yang mempunyai nilai prestis
tinggi di mata dunia. Sebelumnya pada Februari 2015, Pwc
(PriceWaterHouseCoopers) dalam laporan bertajuk The World in 2050: Will the shift in global economic power continue?
menempatkan Indonesia sebagai tiga besar ekonomi dunia pada tahun 2050 dengan
PDB Purchasing Power Parity mencapai
12 ribu triliun US$. Laporan ini menambah deretan pandangan optimis dari
lembaga internasional terkait masa depan perekonomian Indonesia.
Namun bertolak belakang dengan
pesan optimis dari Pwc, perekonomian nasional di kuartal pertama 2015 masih terus
dibayangi oleh tren ekonomi yang melambat sejak 2011. Dalam laporan yang
dikeluarkan Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan
I-2015 mencapai 4,71%, turun 0,18% dari pertumbuhan ekonomi triwulan I-2014.
Kontraksi pertumbuhan negatif ekonomi pada triwulan 1-2015 dipicu oleh menurunnya
kinerja lapangan usaha yang memiliki kontribusi besar pada perekonomian seperti
pertambangan, konstruksi, dan industri pengolahan.
Berbicara tentang industri
pengolahan, industri ini belum mampu bangkit ke level pertumbuhan terbaiknya.
Sebelum krisis menghantam Indonesia pertumbuhan industri pengolahan masih mampu
menyentuh angka 10% pada tahun 1992 bahkan mencapai 12% pada tahun 1990. Namun setelah
krisis industri pengolahan hanya mampu tumbuh rata-rata di kisaran angka 5%
pada periode 2000-2014 .
Hal ini menjadi permasalahan
tersendiri mengingat industri pengolahan merupakan salah satu industri
yang mampu menyerap banyak tenaga kerja.
Sampai dengan akhir 2014 tercatat 24 juta orang atau 21% dari total tenaga
kerja bekerja di sektor ini. Menurut studi dari Bank dunia Industri ini juga
merupakan primadona bagi para lulusan sekolah menengah karena menawarkan
tingkat upah riil tertinggi dibandingkan dengan sektor lain.
Industri pengolahan merupakan mesin
pertumbuhan yang efektif bagi perekonomian karena ukuran industri yang lebih
besar dan keterkaitanya di hampir semua sektor perekonomian. Itulah kenapa
Pemerintah perlu serius membenahi industri pengolahan dalam rangka menjaga
pertumbuhan ekonomi nasional. Masalah industri ini tidak hanya terbatas pada
rendahnya pertumbuhan, tetapi juga permasalahan seperti kebijakan pengupahan
yang, rendahnya produktivitas tenaga kerja, hingga kurangnya dukungan
pemerintah terhadap industri ini khususnya dalam hal investasi untuk penelitian
dan teknologi.
Salah satu upaya yang sudah
dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong tumbuhnya industri ini dengan
memberikan insentif fiskal berupa tax
allowance (keringanan dan pengurangan pajak) bagi para investor. Namun instrumen
ini tidak akan cukup efektif dalam menarik investor jika masalah klasik seperti
proses perizinan investasi yang rumit, ketersediaan bahan baku, biaya logistik
yang mahal, hingga belum stabilnya pasokan sumber daya seperti listrik dan
energi gas, tidak dibenahi oleh
pemerintah.
Menjaga asa pertumbuhan
Target pertumbuhan ekonomi tahun
ini telah dipatok 5,7%. Jika pemerintah tidak mengantisipasi perlambatan
pertumbuhan ekonomi seperti yang terjadi di triwulan I-2015, maka target
pertumbuhan ekonomi akhir tahun akan sulit terealisasi. Selain membenahi sektor
industri pengolahan, ada beberapa langkah lain yang harus dilakukan pemerintah
dalam menjaga pertumbuhan ekonomi ke depan.
Pertama; mempercepat pembangunan
infrastruktur yang dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Seperti yang kita
ketahui infrastruktur memainkan peran yang penting dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi nasional. Pada triwulan pertama kementerian pekerjaan umum dan
perumahan rakyat yang mendapatkan mandat untuk merealisasikan proyek
infrastruktur nasional belum dapat melaksanakan tugasnya secara optimal karena
terhambat aturan perubahan nomenklatur pada kementerian tersebut. Tentunya isu
ini harus segera diselesaikan bersamaan dengan isu lain yang dapat mengambat
pembangunan infrastruktur seperti pembebasan lahan yang memakan waktu lama dan
biaya yang besar hingga skema pembiayaan. Selain itu Proporsi belanja modal
pada anggaran belanja daerah juga perlu diperbesar. Indikator keuangan daerah
pada April 2015 menunjukkan rata-rata proporsi belanja modal daerah hanya
mencapai 24% terhadap belanja secara keseluruhan sisanya berkutat pada belanja
rutin seperti belanja pegawai. Padahal belanja modal dapat digunakan untuk
membangun infrastruktur untuk mendukung roda perekonomian daerah yang pada
akhirnya berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi nasional secara
keseluruhan.
Kedua; mengantisipasi inflasi. Salah
satu sumber penyumbang terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah
konsumsi rumah tangga dengan proporsi 56% dari PDB Indonesia. Pada triwulan
I-2015 konsumsi dapat tumbuh sebesar 5,01%. Meskipun demikian inflasi yang
terjadi dua kali pada triwulan I-2015 (Maret dan April 2015) perlu menjadi
peringatan untuk pemerintah karena inflasi seringkali menjadi menurunnya daya
beli masyarakat dan berakibat pada penurunan konsumsi secara keseluruhan. Untuk
mengantisipasi inflasi pemerintah perlu melakukan berbagai cara mulai dari pengawasan
pasokan pangan, operasi pasar, sampai subsidi tarif angkutan.
Ketiga, mengisentifkan diversifikasi
negara tujuan dan produk ekspor. Indonesia saat ini turut merasakan perlambatan
ekonomi global dengan perlambatan kinerja ekspor hingga 0,5% pada triwulan
I-2015. Untuk kembali menggenjot nilai ekspor pemerintah perlu meningkatkan diversifikasi
negara tujuan dan produk ekspor. Negara
tujuan yang bisa disasar ialah negara-negara di Afrika, Asia, dan Amerika
Latin. Produk yang di ekspor pun harus terdiversifikasi menjadi produk dengan
nilai tambah lebih besar. Produk yang mempunyai potensi ini antara lain
otomotif dan ban (olahan dari industri karet). Kedua produk ini sangat
potensial karena didukung industri domestik yang sudah lebih baik dan
ketersediaan bahan baku.
Mencapai target pertumbuhan
ekonomi tahun ini bukanlah pekerjaan mudah karena pemerintah dihadapkan pada
perlambatan ekonomi global dan juga tantangan ekonomi dalam negeri. Jika
diibaratkan sebagai kapal, perekonomian indonesia layaknya kapal yang tengah
terombang-ambing di lautan karena lajunya melambat diterjang ombak. Dalam
situasi seperti ini nakhoda atau pemimpin kapal perlu berpikir dengan bijak dan
komprehensif untuk mendapatkan cara agar kapal kembali melaju. Perlu kesigapan,
kecepatan, dan ketetapan dari nakhoda agar kapal yang dipimpinnya tidak
tenggelam disapu ganasnya ombak yang datang.
*Artikel ini pernah dimuat di harian KONTAN 1 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar